Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kesultanan Bone atau sering pula dikenal dengan Kesultanan
Bugis, merupakan kesultanan yang terletak di Sulawesi bagian barat daya
atau tepatnya di daerah Provinsi Sulawesi Selatan
sekarang ini. Menguasai areal sekitar 2600 km2.Sejak berakhirnya kekuasaan Gowa, Bone menjadi penguasa utama di bawah pengaruh Belanda di Sulawesi Selatan dan sekitarnya pada tahun 1666. Bone berada di bawah kontrol Belanda sampai tahun 1814 ketika Inggris berkuasa sementara di daerah ini, tetapi dikembalikan lagi ke Belanda pada 1816 setelah perjanjian di Eropa akibat kejatuhan Napoleon Bonaparte.
Pengaruh Belanda ini kemudian menyebabkan meningkatnya perlawanan Bone terhadap Belanda, namun Belanda-pun mengirim sekian banyak ekspedisi untuk meredam perlawanan sampai akhirnya Bone menjadi bagian dari Indonesia pada saat proklamasi. Di Bone, para raja bergelar Arumponé.
Daftar Arumpone Bone
- Matasilompoé [Manurungngé ri Matajang] (1392-1424)
- La Umassa Petta Panré Bessié [To' Mulaiyé Panreng] (1424-1441)
- La Saliyu Karampéluwa/Karaéng Pélua'? [Pasadowakki] (1441-1470)
- We Ban-ri Gau Daéng Marawa Arung Majang Makaleppié Bisu-ri Lalengpili Petta-ri La Welareng [Malajangngé ri Cina] (1470-1490)
- La Tenri Sukki Mappajungngé (1490-1517)
- La Uliyo/Wuliyo Boté'é [Matinroé-ri Itterung] (1517-1542)
- La Tenri Rawe Bongkangngé [Matinroé-ri Gucinna] (1542-1584)
- La Icca'/La Inca' [Matinroé-ri Adénénna] (1584-1595)
- La Pattawe [Matinroé-ri Bettung] (15xx - 1590)
- We Tenrituppu [Matinroé ri Sidénréng] (1590-1607)
- La Tenrirua [Matinroé ri Bantaéng] (1607-1608)
- La Tenripalé [Matinroé ri Tallo] (1608-1626)
- La Ma'daremméng Matinroé ri Bukaka (1626-1643)
- Tobala', Arung Tanété Riawang, dijadikan regent oleh Gowa (1643-1660)
- La Ma'daremméng Matinroé ri Bukaka (1667-1672)
- La Tenritatta Matinroé ri Bontoala' (Arung Palakka) Petta Malampe'é Gemme'na Daéng Sérang (1672-1696)
- La Patau Matanna Tikka Walinonoé To Tenri Bali Malaé Sanrang Petta Matinroé ri Nagauléng (1696-1714)
- Batari Toja Daéng Talaga Arung Timurung Datu-ri Citta Sultana Zainab Zakiyat ud-din binti al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [Matinroé-ri Tippuluna] (1714-1715) (masa jabatan pertama)
- La Padassajati/Padang Sajati To' Apaware Paduka Sri Sultan Sulaiman ibni al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [Matinroé-ri Béula] (1715-1720)
- Bata-ri Toja Daéng Talaga Arung Timurung Datu-ri Citta Sultana Zainab Zakiat ud-din binti al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [Matinroé-ri Tippuluna] (1715) (masa jabatan kedua)
- La Pareppa To' Aparapu Sappéwali Daéng Bonto Madanrang Karaéng Anamonjang Paduka Sri Sultan Shahab ud-din Ismail ibni al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din (1720-1721). Ia menjadi Sultan Gowa [Tumamenanga-ri Sompaopu], Arumpone Bone, dan Datu Soppeng.
- I-Mappaurangi Karaéng Kanjilo Paduka Sri Sultan Siraj ud-din ibni al-Marhum Sultan 'Abdu'l Kadir (1721-1724). Menjadi Sultan Gowa dengan gelar Tuammenang-ri-Pasi dan Sultan Tallo dengan gelar Tomamaliang-ri Gaukana.
- La Panaongi To' Pawawoi Arung Mampu Karaéng Biséi Paduka Sri Sultan 'Abdu'llah Mansur ibni al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [Tuammenang-ri Biséi] (1724)
- Batari Toja Daéng Talaga Arung Timurung Datu-ri Citta Sultana Zainab Zakiat ud-din binti al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [Matinroé-ri Tippuluna] (1724-1738) (masa jabatan ketiga)
- I-Danraja Siti Nafisah Karaéng Langelo binti al-Marhum (1738-1741)
- Batari Toja Daéng Talaga Arung Timurung Datu-ri Citta Sultana Zainab Zakiat ud-din binti al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [Matinroé-ri Tippuluna] (1741-1749) (masa jabatan keempat)
- La Temmassogé Mappasossong To' Appaware' Petta Paduka Sri Sultan 'Abdu'l Razzaq Jalal ud-din ibni al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [Matinroé ri-Malimongang] (1749-1775)
- La Tenri Tappu To' Appaliweng Arung Timurung Paduka Sri Sultan Ahmad as-Saleh Shams ud-din [Matinroé-ri-Rompégading] (1775-1812)
- La Mappatunru To Appatunru' Paduka Sri Sultan Muhammad Ismail Muhtajuddin [Matinroé-ri Laleng-bata] (1812-1823)
- I-Manéng Paduka Sri Ratu Sultana Salima Rajiat ud-din [Matinroé-ri Kassi] (1823-1835)
- La Mappaséling Paduka Sri Sultan Adam Nazim ud-din [Matinroé-ri Salassana] (1835-1845)
- La Parénréngi Paduka Sri Sultan Ahmad Saleh Muhi ud-din [Matinroé-ri Aja-bénténg] (1845-1858)
- La Pamadanuka Paduka Sri Sultan Sultan Abul-Hadi (1858-1860)???
- La Singkeru Rukka Paduka Sri Sultan Ahmad Idris [Matinroé-ri Lalambata] (1860-1871)
- I-Banri Gau Paduka Sri Sultana Fatima [Matinroé-ri Bola Mapparé'na] (1871-1895)
- La Pawawoi Karaéng Sigéri [Matinroé-ri Bandung] (1895-1905)
- Haji Andi Bacho La Mappanyuki Karaéng Silaja/Selayar Sri Sultan Ibrahim ibnu Sri Sultan Husain (1931-1946) (masa jabatan pertama)
- Andi Pabénténg Daéng Palawa [Matinroé-ri Matuju] (1946-1950)
- Haji Andi Bacho La Mappanyuki Karaéng Silaja/Selayar Sri Sultan Ibrahim ibnu Sri Sultan Husain [Matinroé-ri Gowa] (1950-1960) (masa jabatan kedua diangkat oleh belanda)
ARU PALAKKA
Setelah
La Maddaremmeng MatinroE ri Bukaka meninggal dunia, maka digantikanlah
oleh kemanakannya yang bernama La Tenri Tatta Arung Palakka MalampeE
Gemme’na Petta To RisompaE.
La
Tenri Tatta To Unru adalah anak dari We Tenri Sui Datu Mario
Riwawo dengan suaminya yang bernama La Pottobune Arung
Tanatengnga Datu Lompulle. Ibu dari We Tenri Sui adalah
We Baji atau We Dangke LebaE ri Mario Riwawo dengan suaminya La
Tenri Ruwa Arung Palakka MatinroE ri Bantaeng. La Tenri Ruwalah
yang mula-mula menerima agama Islam dari KaraengE ri Gowa yang juga dianggap
sebagai orang pertama menerima agama Islam di Celebes Selatan. Karena pada
waktu itu orang Bone menolak agama Islam, maka Arumpone La Tenri Ruwa pergi ke Bantaeng
dan disanalah ia meninggal dunia sehingga dinamakan MatinroE ri Bantaeng.
Ketika
La Tenri Tatta To Unru baru berusia 11 tahun, Bone dibawah kepemimpinan La
Tenri Ruwa, Bone diserang dan dikalahkan oleh Gowa. Orang tuanya La Pottobune
ditangkap dan ditawan bersama Arumpone La Tenri Ruwa serta beberapa anak
bangsawan Bone lainnya oleh KaraengE ri Gowa dalam peristiwa yang disebut Beta
Pasempe ( Kekalahan di Pasempe ). Pasempe adalah sebuah kampung kecil yang
dipilih oleh Arumpone La Tenri Ruwa untuk melakukan perlawanan dan disitulah
dia dikalahkan. Semua tawanan Gowa termasuk orang tua La Tenri Tatta Arung
Palakka dibawa ke Gowa.
Sesampainya
di Gowa, tawanan-tawanan itu dibagi-bagi kepada Bate SalapangE ri Gowa. La
Pottobune, isterinya We Tenri Sui dan anaknya La Tenri Tatta To Unru diambil
oleh KaraengE ri Gowa. Ditempatkan di SalassaE (Istana) Gowa dan ditunjukkan
sebidang tanah untuk digarap dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Disitu pulalah
membuat pondok untuk ditempatinya.
Karena
La Tenri Tatta To Unru dianggap masih anak-anak, maka To Unru selalu diikutkan
oleh KaraengE ri Gowa apabila bepergian. La Tenri Tatta biasanya ditugasi untuk
membawa tombak atau sebagai –pakkalawing epu (pembawa perlengkapan) yang
diperlukan oleh KaraengE ri Gowa dalam perjalanan itu. Sejak itu La Tenri Tatta dikenal banyak
kalangan, termasuk para anggota Bate SalapangE ri Gowa. La Tenri Tatta To Unru
memiliki sifat-sifat yang baik, jujur dan cerdas. Oleh karena itu La Tenri
Tatta To Unru diambil oleh Karaeng Patingalloang untuk diajari tentang
adat-istiadat Mangkasar (Gowa).
Setelah Karaeng
Patingalloang Tu Mabbicara Butta ri Gowa meninggal dunia, maka yang
menggantikannya adalah saudaranya yang bernama Karaeng Karunrung.
Karaeng Karunrung inilah yang terkenal sangat kejam terhadap
orang-orang Bone yang menjadi tawanan Gowa. Ini pulalah sebagai Tu
Mabbicara Butta ri Gowa yang minta kepada Tobala Jennang Bone untuk
dikirimi sebanyak 10.000 orang Bone yang akan dipekerjakan sebagai penggali
parit dan pembuat benteng.
Jumlah tersebut tidak bisa
dikurangi, diganti atau dibayar. Walaupun seseorang yang telah ditunjuk itu ada
yang bisa menggantikannya atau mampu untuk membayarnya, namun oleh Karaeng
Karunrung tidak membenarkannya.
Ketika orang Bone yang jumlahnya
10.000 itu tiba, langsung dipekerjakan sebagai penggali parit dan pembuat
benteng. Tiap-tiap 10
orang diawasi oleh seorang mandor dari orang Gowa sendiri. Mereka dipekerjakan
mulai pagi sampai malam dan hanya diberi kesempatan istirahat pada waktu makan.
Makanannya tidak ditanggung oleh Karaeng Karunrung, tetapi harus dibawa sendiri
dari Bone.
Adapun La Tenri Tatta To Unru Daeng
Serang, sudah kawin dengan seorang anak bangsawan Gowa yang bernama I
Mangkawani Daeng Talele. Pada saat orang Bone yang jumlahnya 10.000 itu bekerja,
La Tenri Tatta To Unru menggabungkan diri dan bekerja juga sebagai penggali
parit dan pembuat benteng. Ia juga merasakan bagaimana penderitaan orang Bone
disiksa oleh mandor-mandor orang Gowa yang mengawasi pekerjaan itu.
Suatu ketika, KaraengE ri Gowa akan
memperingati Ulang Tahunnya, maka diadakanlah perburuan rusa di Tallo. Seluruh
rakyat diharuskan mengikuti perburuan tersebut. La Tenri Tatta Daeng Serang
yang biasa membawakan tombak KaraengE, kebetulan tidak ikut. Oleh karena itu
orang tuanya La Pottobune’lah yang ditunjuk oleh KaraengE ri Gowa untuk
membawakan tombaknya.
Sesampainya KaraengE ri Gowa pada
lokasi perburuan rusa di Tallo, terpencarlah orang banyak baik sebagai pemburu
atau sebagai penunggang kuda untuk menelusuri hutan-hutan mencari rusa.
Kebetulan ada dua orang pekerja parit yang melarikan diri dan bersembunyi
dihutan, karena disangkanya dirinya yang dikepung. Kedua orang tersebut
ditangkap oleh pemburu dan dihadapkan kepada Karaeng Karunrung. Keduanya
disiksa, dipukuli sampai meninggal dunia.
La Pottobune’ orang tua La Tenri
Tatta sangat prihatin menyaksikan penyiksaan itu, sehingga tidak dapat menahan
perasaannya. Datu Lompulle tidak mampu menahan emosinya dan pada saat itu juga
ia mengamuk dengan menggunakan tombak Karaeng Karunrung yang dibawanya. Setelah
membunuh banyak orang Gowa, barulah ia ditangkap dan disiksa seperti layaknya
pekerja parit yang melarikan diri tadi. Karena La Pottobune’ memiliki ilmu
kebal terhadap senjata tajam, maka nantilah dia meninggal dunia setelah dimasukkan
dalam lesung dan ditumbuk dengan alu.
Sejak kejadian itu, La Tenri Tatta
To Unru Daeng Serang tidak bisa lagi tidur. Setiap saat ia selalu berdoa kepada
Dewata SeuwaE agar diberi jalan yang lapang untuk kembali menegakkan kebesaran
Tanah Bone.
Suatu saat pagi-pagi sekali La Tenri Tatta To Unru tiba di tempat penggalian. Lalu dipanggilnya keluarga dekatnya, seperti Arung Belo, Arung Pattojo Arung Ampana dan lain-lain. Semua keluarga dekatnya itu memang tidak pernah berpisah dengannya. Dalam kesempatan itu, dibuatnya suatu kesepakatan untuk membebaskan seluruh orang Bone dari penyiksaan orang Gowa di tempat penggalian tersebut. Kesepakatan ini sangat dirahasiakannya, tidak seorangpun yang bisa mengetahuinya termasuk kepada isteri mereka.
Pada waktu diadakan perburuan rusa terakhir di Tallo, rencana pembebasan yang akan dilakukan oleh La Tenri Tatta Daeng Serang, Arung Belo, Arung Pattojo dan Arung Ampana juga sudah cukup matang. Semua keluarganya sudah dipersiapkan dan barang-barang bawaan sudah dikemas dengan rapi. Saat itulah La Tenri Tatta Arung Palakka memerintahkan kepada seluruh pekerja parit dan pembuat benteng untuk melarikan diri meninggalkan tempat itu. Sebelumnya seluruh mandor dari orang Gowa dibunuh dan dirampas senjata dan perlengkapan lainnya.
Suatu saat pagi-pagi sekali La Tenri Tatta To Unru tiba di tempat penggalian. Lalu dipanggilnya keluarga dekatnya, seperti Arung Belo, Arung Pattojo Arung Ampana dan lain-lain. Semua keluarga dekatnya itu memang tidak pernah berpisah dengannya. Dalam kesempatan itu, dibuatnya suatu kesepakatan untuk membebaskan seluruh orang Bone dari penyiksaan orang Gowa di tempat penggalian tersebut. Kesepakatan ini sangat dirahasiakannya, tidak seorangpun yang bisa mengetahuinya termasuk kepada isteri mereka.
Pada waktu diadakan perburuan rusa terakhir di Tallo, rencana pembebasan yang akan dilakukan oleh La Tenri Tatta Daeng Serang, Arung Belo, Arung Pattojo dan Arung Ampana juga sudah cukup matang. Semua keluarganya sudah dipersiapkan dan barang-barang bawaan sudah dikemas dengan rapi. Saat itulah La Tenri Tatta Arung Palakka memerintahkan kepada seluruh pekerja parit dan pembuat benteng untuk melarikan diri meninggalkan tempat itu. Sebelumnya seluruh mandor dari orang Gowa dibunuh dan dirampas senjata dan perlengkapan lainnya.
Sesampainya di Bone La Tenri Tatta
To Unru langsung menemui Jennang Tobala dan Datu Soppeng yang bernama La Tenri
Bali yang tidak lain adalah pamannya sendiri. Datu Soppeng La Tenri Bali dengan
Jennang Tobala memang telah membuat suatu kesepakatan untuk membangkitkan
kembali semangat orang Bone melawan Gowa. Kesepakatan antara Jennang Tobala
dengan Datu Soppeng inilah yang kemudian dikenal dengan nama Pincara
LopiE ri Attapang.
Kepada pamannya Datu Soppeng, La Tenri Tatta To Unru minta bekal untuk
dipakai dalam perjalanan, karena dia akan pergi jauh mencari teman yang bisa
diajak kerja sama melawan Gowa. Sebab menurut perkiraannya perjalanan ini akan
memakan waktu yang lama dan akan menelan banyak pengorbanan.
Tidak berapa lama, datanglah orang
Gowa dengan jumlah yang sangat besar lengkap dengan persenjataan perangnya
mencari jejaknya. Terjadilah pertempuran yang sangat dahsyat antara La Tenri
Tatta To Unru bersama pasukannya melawan orang Gowa di Lamuru. Tetapi karena
kekuatan Gowa ternyata lebih kuat, akhirnya La Tenri Tatta To Unu bersama
pasukannya mundur kearah utara. Sementara orang Gowa yang merasa kehilangan
jejak, melanjutkan perjalanan ke Bone. Di Bone orang Gowa betempur lagi melawan
Tobala dengan pasukannya yang berakhir dengan tewasnya Jennang Tobala Petta
PakkanynyarangE.
Setelah Tobala Petta PakkanynyarangE tewas dalam pertempuran, orang Gowa terus ke Soppeng untuk menangkap Datu Soppeng La Tenri Bali dan selanjutnya dibawa ke Gowa ( Mangkasar ). Sedangkan pencaharian terhadap La Tenri Tatta Arung Palakka tetap dilanjutkan.
Setelah Tobala Petta PakkanynyarangE tewas dalam pertempuran, orang Gowa terus ke Soppeng untuk menangkap Datu Soppeng La Tenri Bali dan selanjutnya dibawa ke Gowa ( Mangkasar ). Sedangkan pencaharian terhadap La Tenri Tatta Arung Palakka tetap dilanjutkan.
Tewasnya Tobala Arung Tanete Petta
PakkanynyarangE, oleh KaraengE ri Gowa yang bernama I Mallombasi Daeng
Mattawang Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin merasa perlu untuk mengangkat
Jennang yang baru di Bone. Ditunjuklah La Sekati Arung Amali sebagai pengganti
Tobala, sementara Datu Soppeng La Tenri Bali ditawan di Gowa dan ditempatkan di
Sanrangeng bersama Arumpone La Maddaremmeng.
Karena merasa selalu diburu oleh
orang Mangkasar ( Gowa ), La Tenri Tatta To Unru bersama seluruh pengikutnya
semakin terjepit dan sulit untuk tinggal di Tanah Ugi. Oleh karena itu bersama
Arung Belo, Arung Pattojo dan Arung Ampana sepakat untuk menyeberang ke Butung
Tanah Uliyo. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan siapa tahu nanti di Butung
Tanah Uliyo bisa mendapatkan teman yang dapat diajak bekerja sama melawan Gowa.
Dipersiapkanlah sejumlah perahu dan pada saat yang tepat La Tenri Tatta To Unru
bersama seluruh pengikutnya bertolak dari pantai Cempalagi Ujung Pallette
menuju ke Butung Tanah Uliyo.
Beberapa saat saja setelah
meninggalkan Cempalagi Ujung Pallette, orang Gowapun datang mencari jejaknya.
Tetapi La Tenri Tatta To Unru bersama pengikutnya telah berada ditengah laut
menuju ke Butung Tanah Uliyo. Dengan demikian orang Gowa segera kembali untuk
menyampaikan kepada KaraengE ri Gowa bahwa La Tenri Tatta To Unru bersama
seluruh pengikutnya tidak berada lagi di daratan Tanah Ugi. Besar
kemungkinannya ia menyeberang ke Butung Tanah Uliyo untuk minta perlindungan
kepada Raja Butung.
Mendengar laporan itu, KaraengE ri Gowa memerintahkan Arung Gattareng untuk menyusulnya. Arung Gattareng berhasil bertemu La Tenri Tatta To Unru di tengah laut. Setelah berbicara sejenak, Arung Gattareng lalu membelokkan perahunya dan kembali ke Gowa . Sementara La Tenri Tatta Arung Palakka bersama pengikutnya tetap melanjutkan perjalanan menuju ke Butung.
Mendengar laporan itu, KaraengE ri Gowa memerintahkan Arung Gattareng untuk menyusulnya. Arung Gattareng berhasil bertemu La Tenri Tatta To Unru di tengah laut. Setelah berbicara sejenak, Arung Gattareng lalu membelokkan perahunya dan kembali ke Gowa . Sementara La Tenri Tatta Arung Palakka bersama pengikutnya tetap melanjutkan perjalanan menuju ke Butung.
Sesampainya di Tanah Uliyo, La Tenri
Tatta To Unru Arung Palakka diterima baik oleh Raja Butung dan diberinya tempat
untuk istirahat dengan pengikutnya. Kepada La Tenri Tatta To Unru, Raja Butung
berkata,
”Tinggallah
sementara disini, nanti kalau kapal Kompeni Belanda yang akan menuju ke Ambon
dan Ternate singgah disini, barulah saya pertemukan denganmu. Sebab
sesungguhnya saya sangat menghawatirkan kalau nantinya orang Gowa yang disuruh
oleh KaraengE ri Gowa bisa menemukan tempatmu disini. KaraengE ri Gowa memang
sangat marah kepada saya, karena kapal-kapal Kompeni Belanda selalu singgah
disini apabila akan berangkat menuju ke Ambon dan Ternate”.
Pada saat La Tenri Tatta To Unru
akan bertolak ke Butung, ia singgah bernazar di gunung Cempalagi dekat
Pallette. Dalam nazarnya tersebut, La Tenri Tatta To Unru bertekad tidak akan
memotong rambutnya sebelum dirinya bersama seluruh pengikutnya kembali dengan
selamat di Tanah Ugi. Sejak itu rambutnya dibiarkan menjadi panjang dan
digelarlah MalampeE Gemme’na.
KaraengE ri Gowa sudah mengetahui
bahwa La Tenri Tatta To Unru Arung Palakka bersama pengikutnya telah berada di
Butung Tanah Uliyo. Oleh karena itu disiapkanlah pasukan dengan jumlah besar
yang diperlengkapi dengan senjata perang untuk menyerang Butung Tanah Uliyo.
Apalagi maksud untuk menyerang Butung memang telah lama direncanakan, karena
Butung selalu menjadi tempat persinggahan kapal-kapal Kompeni Belanda kalau
akan berangkat ke Ambon dan Ternate.
Tidak lama kemudian utusan KaraengE
ri Gowa datang ke Butung untuk mencari La Tenri Tatta bersama pengikutnya.
Tetapi sebelum utusan itu naik kedarat, Raja Butung menyampaikan kepada La
Tenri Tatta To Unru bersama pengikutnya untuk bersembunyi disebuah sumur besar
dan tidak berair tidak jauh dari istana Raja Butung. Kepada La Tenri Tatta To
Unru, Raja Butung berkata ;” Saya akan bersumpah nanti kalau utusan KaraengE ri
Gowa naik untuk menanyakan keberadaanmu, bahwa kamu dengan seluruh pengikutmu
tidak berada diatas Tanah Uliyo”.
Karena pernyataan Raja Butung bahwa
La Tenri Tatta bersama seluruh pengikutnya tidak berada diatas Tanah Uliyo dan
utusan KaraengE ri Gowa memang tidak melihat adanya tanda bahwa orang yang
dicarinya ada di tempat itu, maka utusan itupun pamit dan kembali ke Gowa.
KaraengE ri Gowa rupanya tidak
kehabisan akal, maka disusunlah strategi baru dengan memperbanyak pasukan dan
diperlengkapi dengan persenjatan untuk menyerang Butung sampai ke Ternate.
Dipanggilah Datu Luwu La Setiaraja bersama Karaeng Bonto Marannu untuk memimpin
pasukan ke Tanah Uliyo. Menurut rencananya setelah Butung kalah, serangan akan
dilanjutkan ke Ternate untuk menangkap Raja Ternate.
Berita tentang rencana KaraengE ri Gowa yang akan menyerang Butung dan Ternate telah sampai kepada Kompeni Belanda di Jakarta. Oleh karena itu Kompeni Belanda mempersiapkan sejumlah kapal dan perlengkapan perang untuk melawan Gowa. Kepada La Tenri Tatta To Unru yang sementara berada di Butung dipesankan untuk memperlengkapi pasukannya dengan persenjataan. Begitu pula kepada Raja Butung agar bersiap-siap menunggu kedatangan Kompeni Belanda.
Berita tentang rencana KaraengE ri Gowa yang akan menyerang Butung dan Ternate telah sampai kepada Kompeni Belanda di Jakarta. Oleh karena itu Kompeni Belanda mempersiapkan sejumlah kapal dan perlengkapan perang untuk melawan Gowa. Kepada La Tenri Tatta To Unru yang sementara berada di Butung dipesankan untuk memperlengkapi pasukannya dengan persenjataan. Begitu pula kepada Raja Butung agar bersiap-siap menunggu kedatangan Kompeni Belanda.
Atas perintah KaraengE ri Gowa, Datu
Luwu bersama Karaeng Bonto Marannu berlayar ke Butung membawa pasukan untuk
menyerang Butung dan selanjutnya Ternate. Sementara itu, berita tentang
keberangkatan pasukan Kompeni Belanda bersama La Tenri Tatta ke Butung telah
sampai pula pada KaraengE ri Gowa. Oleh karena itu, KaraengE ri Gowa segera
mengembalikan Arumpone La Maddaremmeng ke Bone dan Datu Soppeng yang bernama La
Tenri Bali dikembalikan ke Soppeng. Didudukkanlah Bone sebagai Palili (daerah
bawahan) dari Gowa yang berarti Bone telah lepas dari penjajahan Gowa.
Adapun maksud KaraengE ri Gowa
mengembalikan Arumpone La Maddaremmeng untuk menduduki kembali Mangkau’ Bone,
agar orang Bone tidak lagi melihat Gowa sebagai lawan yang sedang bermusuhan
dengan Kompeni Belanda. Sementara La Tenri Bali Datu Soppeng yang tadinya
ditempatkan di Sanrangeng bersama Arumpone La Maddaremmeng sebagai tawanan,
dikembalikan pula ke Soppeng. Selanjutnya Soppeng didudukkan pula sebagai
Palili dari Gowa sebagaimana halnya Bone. Sejak itu Soppeng bukan lagi sebagai
jajahan Gowa melainkan sebagai daerah bawahan saja.
Kapal-kapal Kompeni Belanda yang
memuat pasukan tempur yang dipimpin oleh Cornelis Speelman tiba di Butung.
Diatas kapal ada La Tenri Tatta To Unru Arung Palakka bersama dengan seluruh
pengikutnya. Sesampainya di Butung, La Tenri Tatta To Unru Arungt Palakka
MalampeE Gemme’na memperoleh informasi bahwa yang memimpin pasukan Gowa adalah
Datu Luwu La Setiaraja dan Karaeng Bonto Marannu. Oleh karena itu La Tenri
Tatta berkata kepada Cornelis Speelman agar jangan melepaskan tembakan. La
Tenri Tatta memberi penjelasan kepada Cornelis Speelman bahwa Bone dengan Luwu
sama-sama jajahan Gowa dan tidak pernah bermusuhan. Begitu pula Karaeng Bonto
Marannu tidak pernah terjadi perselisihan faham dengannya. Keduanya hanya
disuruh oleh KaraengE ri Gowa unuk menyerang orang Bone.
Selanjuitnya La Tenri Tatta mengajak
kepada Cornelis Speelman untuk mengirim utusan kedarat guna menemui Datu Luwu
dan Karaeng Bonto Marannu.Siapa tahu ada jalan yang bisa ditempuh dan tidak
saling bermusuhan sesama saudara. Ajakan itu disetujui oleh Speelman dan
diutuslah beberapa orang naik menemui Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu.
Sesampainya ditempat Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu, utusan itu
menyampaikan bahwa Arung Palakka bersama Cornelis Speelman mengharapkan Datu
Luwu bersama Karang Bonto Marannu turun ke kapal dengan mengibarkan bendera
putih untuk berbicara secara baik-baik.
Mendengar apa yang disampaikan oleh
utusan itu, Datu Luwu La Setiaraja dan Karaeng Bonto Marannu sependapat bahwa
lebih banyak buruknya dari pada baiknya jika kita saling bermusuhan sesama
saudara. Kalau kita berdamai, hanyalah senjata kita yang diambil. Tetapi kalau
kita bertahan untuk berperang, maka senjata beserta seluruh pasukan kita ikut
diambil.
Setelah saling bertukar pendapat
antara Datu Luwu dengan Karaeng Bonto Marannu yang mendapat persetujuan dari
seluruh pasukannya, maka turunlah ke kapal Kompeni Belanda menemui La Tenri
Tatta Arung Palakka dan Cornelis Speelman sebagai pimpinan pasukan Kompeni
Belanda. Dari atas kapal nampak Arung Belo, Arung Pattojo, Arung Ampana serta
Arung Bila menjemput kedatangan Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu beserta beberapa
pengikutnya.
Datu Luwu La Setiaraja dan Karaeng
Bonto Marannu menyatakan bergabung dengan Arung Palakka, makanya keduanya minta
perlindungan Kompeni Belanda. Untuk mengamankan keduanya dari KaraengE ri Gowa,
dibawa ke sebuah pulau oleh Cornelis Speelman. Nanti setelah perang selesai,
barulah kembali ke negerinya. Sedangkan pasukannya dinaikkan ke kapal untuk
dibawa pulang ke kampungnya setelah dilucuti seluruh senjatanya.
Sementara itu, berita tentang
dikembalikannya La Maddaremmeng ke Bone dan La Tenri Bali ke Soppeng oleh
KaraengE ri Gowa dimana Bone dan Soppeng didudukkan sebagai Palili (daerah
bawahan), telah sampai kepada La Tenri Tatta Arung Palakka. Lalu Arung Palakka
mengirim utusan ke Bone dan Soppeng agar Arumpone dan Datu Soppeng tetap mengangkat
senjata untuk melawan KaraengE ri Gowa Sultan Hasanuddin.
La Tenri Tatta Arung Palakka bersama
Cornelis Speelman dengan persenjatan yang lengkap meninggalkan Butung menyusuri
daerah-daerah pesisir yang termasuk kekuasan KaraengE ri Gowa. Banyak daerah
pesisir yang tadinya berpihak kepada Gowa, berbalik dan menyatakan berpihak
kepada La Tenri Tatta Arung Palakka. Sementara melalui darat, Arung Bila, Arung
pattojo, Arung Belo dan Arung Ampana terus membangkitkan semangat orang Bone
dan orang Soppeng untuk berperang melawan Gowa. Beberapa daerah di Tanah
Pabbiring Barat berbalik pula melawan KaraengE ri Gowa.
Dengan demikian keadaan KaraengE ri
Gowa Sultan Hasanuddin sudah terkepung. Kompeni Belanda dibawah komando
Cornelis Speelman menghantam dari laut, sementara Arung Palakka dengan seluruh
pasukannya menghantam dari darat. Semua arung yang tadinya membantu Gowa
kembali berbalik menjadi lawan, kecuali Wajo tetap membantu Gowa.
Karena merasa sudah sangat terdesak
dan pertempuran telah banyak memakan korban dipihak Sultan Hasanuddin, maka
pada hari Jumat tanggal 21 November 1667 M. KaraengE ri Gowa I Mallombasi Daeng
Mattawang Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin bersedia mengakhiri perang.
Kesediaannya itu ditandai dengan suatu perjanjian yang bernama Perjanjian
Bungaya. Perjanjian mana ditanda tangani oleh Sultan Hasanuddin dengan Cornelis
Speelman Admiral Kompeni Belanda. Sementara perjanjian Sultan Hasanuddin dengan
Arung Palakka adalah melepaskan Bone dan Soppeng sebagai jajahan Gowa.
Setelah perang berakhir, barulah La Tenri Tatta Arung Palakka bersama pengikutnya masuk ke Bone. Sesampainya di Bone, dijemput oleh Arumpone La Maddaremmeng. Keduanya saling mengucapkan selamat atas kemenangannya melawan Gowa. Berkatalah La Maddaremmeng kepada kemenakannya La Tenri Tatta ; ”Saya sekarang sudah tua dan semakin lemah, walaupun saya telah dikembalikan oleh KaraengE ri Gowa untuk menduduki Mangkau’ di Bone, namun hanyalah sebagai simbol. Sebab Bone hanya ditempatkan sebagai daerah palili yang berarti harus tetap mengabdi kepada Gowa. Oleh karena itu saya berpendapat sebaiknya engkaulah yang memangku Mangkau’ di Bone. Sebab memang warisanmu dari MatinroE ri Bantaeng. Hanya karena orang Bone pada mulanya tidak mau menerima Islam, sehingga ia meninggalkan Bone”.
Setelah perang berakhir, barulah La Tenri Tatta Arung Palakka bersama pengikutnya masuk ke Bone. Sesampainya di Bone, dijemput oleh Arumpone La Maddaremmeng. Keduanya saling mengucapkan selamat atas kemenangannya melawan Gowa. Berkatalah La Maddaremmeng kepada kemenakannya La Tenri Tatta ; ”Saya sekarang sudah tua dan semakin lemah, walaupun saya telah dikembalikan oleh KaraengE ri Gowa untuk menduduki Mangkau’ di Bone, namun hanyalah sebagai simbol. Sebab Bone hanya ditempatkan sebagai daerah palili yang berarti harus tetap mengabdi kepada Gowa. Oleh karena itu saya berpendapat sebaiknya engkaulah yang memangku Mangkau’ di Bone. Sebab memang warisanmu dari MatinroE ri Bantaeng. Hanya karena orang Bone pada mulanya tidak mau menerima Islam, sehingga ia meninggalkan Bone”.
La Tenri Tatta Arung Palakka
menjawab ; ”Saya menjunjung tinggi keinginan Puatta, tetapi saya tetap
berpendapat bahwa nantilah api itu padam baru dicarikan penggantinya, artinya
nantilah Arumpone benar-benar sudah tidak ada baru diganti”.
Oleh karena itu La Maddaremmeng
tetap memangku Mangkau’ di Bone sampai ia meninggal dunia. Akan tetapi hanyalah
simbol belaka, sebab yang melaksanakan pemerintahan adalah kemenakannya yang
bernama La Tenri Tatta To Unru Arung Palakka.
Bagi Kompeni Belanda hubungannya dengan
arung-arung di Tanah Ugi harus melalui La Tenri Tatta Arung Palakka. Cornelis
Speelman meminta kepada Gubernur Jenderal di Betawe agar Arung Palakka diangkat
menjadi Arumpone. Selain itu ia juga diangkat menjadi pimpinan bagi arung-arung
di Tanah Ugi, karena itu digelarlah To RisompaE.
Dalam tahun 1672 M. Arumpone La
Maddaremmeng meninggal dunia, barulah Arung Palakka resmi menjadi Arumpone.
Diseranglah Wajo pada bulan Agustus 1670 M, karena Arung Matowa Wajo yang
bernama La Tenri Lai belum mau mengalah pada saat diadakannya Perjanjian
Bungaya. La Tenri Lai menyatakan kepada KaraengE ri Gowa Sultan Hasanuddin
bahwa perang antara KaraengE dengan Kompeni Belanda telah berakhir, tetapi
perang Wajo dengan Arung Palakka belum selesai.
Oleh karena itu Sultan Hasanuddin
menganjurkan kepada La Tenri Lai untuk kembali ke Wajo bersama seribu
pengikutnya. Sesampainya di Wajo, disusul kemudian oleh Arung Palakka bersama
seluruh pengikutnya dan berperanglah selama empat bulan. Korban berguguran baik
dari Bone, Soppeng maupun Wajo. Batal sudah Perjanjian TellumpoccoE, akhirnya
Wajo kalah. Tosora terbakar, bobol sudah pertahanan Wajo.
Dalam peperangan yang dahsyat ini,
Arung Matowa Wajo La Tenri Lai To Sengngeng gugur terbakar, maka digelarlah
MatinroE ri Salokona. Dengan demikian datanglah utusan PillaE PatolaE minta
untuk diadakan gencatan senjata atau menghentikan perang kepada Bone dan
Soppeng.
Permintaan itu dijawab oleh Arung
Palakka bahwa hanya diberi kesempatan selama tiga hari untuk mengurus jenazah
Arung MatowaE ri Wajo. Setelah itu, sepakatlah orang Wajo untuk mengangkat La
Palili To Malu menggantikan La Tenri Lai To Sengngeng sebagai Arung Matowa Wajo
yang baru.
Arung Matowa Wajo inilah yang
menyatakan diri kalah dengan Bone dan Soppeng. Pada tanggal 23 Sepetember 1670
M. La Palili To Malu naik ke Ujungpandang untuk menanda tangani perjanjian
dalam Benteng Rotterdam. Arung Palakka MalampeE Gemme’na, ArungE ri Bantaeng,
Datu Soppeng, Arung Tanete serta beberapa petinggi lainnya yang mengantar Arung
Matowa Wajo La Palili To Malu masuk ke Benteng Rotterdam. Arung Matowa Wajo
brsama dengan PillaE yang bernama La Pakkitabaja, PatolaE yang bernama La
Pangabo, CakkuridiE yang bernama La Pedapi, inilh yang dinamakan TelluE Bate
Lompo ri Wajo.
Setelah selesai berperang dengan
Wajo tahun 1671 M. dikawinkanlah adik perempuannya yang bernama We
Mappolo BombangE yang juga diangkat menjadi Maddanreng di Palakka. We
Mappolo BombangE dikawinkan dengan La PakokoE Toangkone Arung
Timurung yang juga Arung Ugi anak dari La Maddaremmeng
MatinroE ri Bukaka dengan isterinya yang bernama We Hadijah I
Dasaleng Arung Ugi.
Lima bulan setelah perkawinan adik
perempuannya We Mappolo BombangE Maddanreng Palakka, dalam
tahun 1671 M. Arung Palakka MalampeE Gemme’na mengadakan
keramaian untuk melepaskan nazarnya ketika hendak meninggalkan Tanah Ugi. Nazarnya
itu adalah,
“Kalau nantinya saya selamat kembali ke Tanah Ugi
menegakkan kembali kebesaran Bone dan Soppeng, saya akan membuat sokko
(nasi ketang) tujuh macam setinggi gunung Cempalagi. Akan kusembelih seratus
kerbau camara (belang) bertanduk emas, sebagai tebusan anak bangsawan
Gowa –maddara takku – (berdarah biru) dan sebagai ganti kepala Karaeng
Mangkasar (bangsawan tinggi) di Gowa.
Pada saat itulah La Tenri Tatta
Arung Palakka menyampaikan kepada pengikutnya bahwa ia memanjangkan rambutnya
selama dalam perantauan dan nanti akan dipotong setelah kembali menegakkan
kebesaran Bone. Maka setelah melepaskan nazarnya di Cempalagi, iapun memotong
rambutnya, kemudian mangosong (bernyanyi),
”Muaseggi belobelo,
weluwa sampo genoaE mattipi nattowa wewe. Muaseggi culecule weluwa sampo
palippaling ri accinaongi awana”.
Ketika
acara potong rambutnya yang diikuti oleh seluruh pengikutnya selesai, La Tenri
Tatta To Unru melepaskan nazarnya dengan memotong 400 ekor kerbau dilereng
gunung Cempalagi. Seratus ekor kerbau camara (Bulu hitam dengan belang dibagian
ekor dan kepala) bertanduk emas (ditaruh emas pada tanduknya). Tiga ratus ekor
sebagai pengganti kepala bangsawan Gowa dan bangsawan Mangkasar.
Setelah itu, diseranglah seluruh negeri yang belum menyatakan diri takluk kepada Bone. Negeri-negeri itu antara lain, Mandar, Palilina Tanah Luwu yang masih mengikut kepada Gowa. Selanjutnya serangannya ditujukan kepada Pasuruan Jawa Timur, Galingkang dan Sangalla. Semua negeri tersebut dikalahkan dan terakhir adalah Letta.
Setelah itu, diseranglah seluruh negeri yang belum menyatakan diri takluk kepada Bone. Negeri-negeri itu antara lain, Mandar, Palilina Tanah Luwu yang masih mengikut kepada Gowa. Selanjutnya serangannya ditujukan kepada Pasuruan Jawa Timur, Galingkang dan Sangalla. Semua negeri tersebut dikalahkan dan terakhir adalah Letta.
Pada
tanggal 3 – 11 – 1672 M. We Mappolo Bombang Maddanreng Palakka melahirkan
anak laki-laki yang bernama La Patau Matanna Tikka WalinonoE La Tenri
Bali MalaE Sanrang. Anak ini lahir dari perkawinannya denga La
PakokoE Toangkone Arung Timurung.
Atas
kelahiran La Patau Matanna Tikka membuat La Tenri
Tatta Arung Palakka Petta To RisompaE sangat gembira. Karena menurut
pikirannya, sudah ada putra mahkota yang bisa melanjutkan akkarungeng di Tanah
Bone. La Tenri Tatta Arung Palakka yang tidak memiliki anak, menganggap bahwa
anak dari adik perempuannya itulah yang menjadi anak pattola (putra mahkota).
Setelah
Arumpone La Maddaremmeng meninggal dunia dalam tahun 1672 M. sepakatlah anggota
Hadat Bone yang didukung oleh seluruh orang Bone serta Pembesar Kompeni Belanda
untuk mengangkat La Tenri Tatta Arung Palakka menjadi Arumpone menggantikan
pamannya.
Agar
dapat memperoleh keturumnan La Tenri Tatta Arung Palakka kawin
dengan We Yadda Datu Watu anak dari La Tenri Bali Datu
Soppeng MatinroE ri Datunna dengan isterinya yang bernama We
Bubungeng I Dasajo. Namun dari perkawinannya itu, tetap tidak
memperoleh keturunan.
Adapun
saudara perempuan La Tenri Tatta yang bernama We
Kacimpureng yang kawin dengan To Dani juga tidak
memiliki keturunan. Saudara perempuaannya yang tua yang bernama We
Tenri Abang, dialah yang diberikan Mario Riwawo. Dia
pula yang diikutkan sewaktu La Tenri Tatta pergi ke Jakarta dimasa berperang
dengan Gowa. We Tenri Abang kawin dengan La Mappajanji
atau biasa juga dinamakan La Sulo Daeng Matasa. Dari
perkawinannya itu lahir seorang anak perempuan yang bernama We Pattekke
Tana Daeng Risanga.
Melihat
bahwa tidak ada lagi musuh yang berarti, maka Arumpone La Tenri Tatta To Unru
Arung Palakka mengumpulkan seluruh Bocco (Akkarungeng Tetangga) di Baruga
TelluE Coppo’na di Cenrana. Diadakanlah suatu pesta untuk disaksikan oleh
arung-arung yang pernah ditaklukkannya, termasuk pembesar-pembesar Kompeni
Belanda. Dalam kesempatan itu, Arumpone La Tenri Tatta Arung Palakka
menyampaikan kepada semua yang hadir bahwa dirinya telah melepaskan nazar dan
telah meletakkan samaja (sesaji) dan juga telah memotong rambutnya.
Seluruh yang hadir pada pesta tersebut mendengarkan dengan baik tentang apa
yang disampaikan oleh Petta To RisompaE.
“Dengarkanlah wahai seluruh orang Bone dan juga
seluruh daerah passeyajingeng Tanah Bone, termasuk passeyajingeng keturunan
MappajungE. Besok atau lusa datang panggilan Allah kepadaku, hanyalah kemanakan
saya yang dua bisa mewarisi milikku. Yang saya tidak berikan adalah harta yang
masih dimiliki oleh isteriku I Mangkawani Daeng Talele. Sebab
saya dengan isteriku I Mangkawani Daeng Talele tidak memiliki keturunan.
Adapun
kemanakanku yang bernama La Patau Matanna Tikka, anak dari Maddanreng Palakka
saya berikan akkarungeng ri Bone. Sedangkan kemanakanku yang satu anak Datu
Mario Riwawo, saya wariskan harta bendaku, kecuali yang masih ada pada isteriku
I Mangkawani Daeng Talele”.
La
Patau Matanna Tikka berkata ; “Saya telah mendengarkan pesan pamanku Petta ToRisompaE
bahwa saya diharapkan untuk menggantikannya kelak sebagai Mangkau’ di Bone.
Namun saya sampaikan kepada orang banyak bahwa sebelum saya menggantikan Puatta
selaku Arumpone, apakah merupakan kesepakatan orang banyak dan bersedia
berjanji denganku?”
Seluruh
anggota Hadat dan orang banyak berkata ; “Katakanlah untuk didengarkan oleh
orang banyak”.
Berkata lagi La Patau Matanna Tikka ; “Saya akan menerima kesepakatan orang banyak dari apa yang dikatakan oleh Puatta To RisompaE, apabila orang banyak mengakui dan mengetahui bahwa ;
- Tidak akan ada lagi Mangkau’ di Bone kalau bukan keturunanku.
- Ketahui pula bahwa keturunanku adalah anak cucu MappajungE tidak akan dipilih dan didudukkan oleh keturunan LiliE. Begitulah yang saya sampaikan kepada orang banyak”.
Berkata lagi La Patau Matanna Tikka ; “Saya akan menerima kesepakatan orang banyak dari apa yang dikatakan oleh Puatta To RisompaE, apabila orang banyak mengakui dan mengetahui bahwa ;
- Tidak akan ada lagi Mangkau’ di Bone kalau bukan keturunanku.
- Ketahui pula bahwa keturunanku adalah anak cucu MappajungE tidak akan dipilih dan didudukkan oleh keturunan LiliE. Begitulah yang saya sampaikan kepada orang banyak”.
Seluruh
orang banyak berkata ; ”Angikko Puang kiraukkaju Riyao miri riyakeng
mutappalireng – muwawa ri peri nyameng” (Baginda angin dan kami semua daun kayu
– dimana Baginda berhembus, disanalah kami terbawa – menempuh kesulitan dan
kesenangan).
La
Tenri Tatta To RisompaE, adalah Datu Mario Riwawo, Arung di Palakka sebelum
memangku Mangkau’ di Bone menggantikan MatinroE ri Bukaka.
Sesudah
perjanjian Bungaya 18 November 1667 M. dia menegakkan kembali kebesaran Bone,
melepaskan dari jajahan Gowa. Begitu pula Soppeng, Luwu dan Wajo, semuanya
dilepaskan dari jajahan Gowa. Datu Luwu MatinroE ri Tompo’tikka yang menguasai
Tanah Toraja sampai di pegunungan Latimojong yang ikut membantu Bone, diangkat
sebagai daerah passeyajingeng (daerah sahabat).
Oleh
karena itu Arumpone La Tenri Tatta digelar Petta To RisompaE atas dukungan
Kompeni Belanda yang memberinya kekuasaan sebagai Mangkau’ dari seluruh
Mangkau’ di Tanah Ugi. La Tenri Tatta To Unru lalu membuat payung emas dan
payung perak di samping Bendera SamparajaE. Oleh Kompeni Belanda diberinya
selempang emas dan kalung emas sebagai tanda kenang-kenangan Kompeni Belanda
atas jasa baiknya menjalin kerja sama.
Selaku
Mangkau’ dari seluruh Mangkau’ di Celebes Selatan, La Tenri Tatta Petta
To RisompaE belum merasa puas kalau TelluE Cappa’ Gala yaitu
Kerajaan Besar Bone, Gowa dan Luwu tidak bersatu. Oleh karena itu, ia mengawali
dengan mengawinkan bakal penggantinya sebagai Arumpone kelak yaitu La
Patau Matanna Tikka WalinonoE dengan anak PajungE ri Luwu La
Setiaraja MatinroE ri Tompo’tikka dari isterinya yang bernama We
Diyo Opu Daeng Massiseng Petta I Takalara. Anak Datu Luwu tersebut
bernama We Ummung Datu Larompong.
We
Ummung Datu Larompong kemudian diangkat menjadi Maddanreng
TellumpoccoE (Bone, Soppeng dan Wajo) dan seluruh daerah sahabat Bone
dalam tahun 1686 M. Untuk Wajo diangkat dua orang berpakaian kebesaran, begitu
pula Soppeng, Ajatappareng, Massenrempulu, Mandar PituE Babanna Minanga tiga
orang, Kaili, Butung, Tolitoli masing-masing tiga orang. Sedangkan Ajangale’
dan Alau Ale’ masing-masing dua orang.
Adapun
perjanjian La Tenri Tatta Petta To RisompaE dengan Datu Luwu La Setiaraja
MatinroE ri Tompo’tikka, adalah,
”Apabila La Patau bersama We
Ummung Datu Larompong melahirkan anak, maka anaknya itulah yang akan
menjadi Datu di Luwu”.
Selanjutnya
La Patau Matanna Tikka dikawinkan lagi di Tanah Mangkasar
dengan perempuan yang bernama We Mariama (Siti Maryam) Karaeng
Patukangang. Anak dari La Mappadulung Daeng Mattimung KaraengE
ri Gowa yang juga dinamakan Sultan Abdul Jalil dengan
isterinya Karaeng Lakiung. Dalam acara perkawinannya itu,
datang semua daerah sahabat Bone menyaksikannya.
Adapun
perjanjian Petta To RisompaE dengan KaraengE ri Gowa, pada saat dikawinkannya La
Patau Matanna Tikka dengan We Mariama adalah,
”Kalau nantinya La Patau dengan We
Mariama melahirkan anak laki-laki, maka anaknya itulah yang diangkat
menjadi Karaeng di Gowa”. Oleh karena itu maka hanyalah anak We Ummung dari
Luwu dan anak We Mariama dari Gowa yang bisa diangkat menjadi Mangkau’ di Bone.
Sementara yang lain, walaupun berasal dari keturunan bangsawan tinggi, tetapi
dia hanya ditempatkan sebagai cera’ biasa (tidak berhak menjadi Mangkau’).
Kecuali kalau anak We Ummung dan We Mariama yang menunjuknya.
Aturan
yang berlaku di TellumpoccoE dan TelluE Cappa’ Gala adalah
-tenri pakkarung cera’E – tenri attolang rajengE (cera’ tidak
bisa menjadi Arung dan rajeng tidak bisa menggantikan Arung). Kecuali semua
putra mahkota telah habis dan tidak ada lagi pilihan lain.
Ketika
kemanakan Petta To RisompaE yang bernama We Pattekke Tana Daeng
Tanisanga Petta MajjappaE Datu TelluE Salassana – digeso’ (tradisi
orang Bugis menggosok gigi dengan batu pada saat anak mulai dewasa),
diundanglah seluruh Bocco dan seluruh Lili
Passeyajingeng Bone. Pada saat itulah Petta To RisompaE memberikan
kepada kemanakannya itu Pattiro dan harta benda yang pernah dipersaksikan
kepada orang banyak sesudah memotong rambutnya.
Selanjutnya
We Pattekke Tana diberikan oleh ibunya Mario Riwawo beserta
isinya, dan ayahnya memberikan Tanete beserta isinya.
Pada
acara maggeso’nya We Pattekke Tana, hadir semua Lili
Passeyajingeng Bone, seperti TellumpoccoE, LimaE Ajattappareng,
PituE Babanna Minanga, LimaE Massenreng Pulu, TelluE Batupapeng, Butung,
Toirate, BukiE, Gowa, Cappa’galaE dan petinggi-petinggi Kompeni
Belanda.
Pada
saat itu juga datang utusan PajungE ri Luwu untuk melamarkan putranya yang
bernama La Onro To Palaguna kepada We Pattekke Tana.
Petta To RisompaE mengatakan kepada utusan Datu Luwu,
”Saya bisa menerima lamaranmu wahai orang Ware,
tetapi dengan perjanjian We Tekke (Pattekke Tana) engkau
angkat menjadi datu di Luwu. Walaupun dia nantinya tidak memiliki anak dengan
suaminya (La Onro To Palaguna), apalagi kalau dia berdua
melahirkan anak, maka harus mewarisi secara turun temurun tahta sebagai Datu
Luwu”.
Permintaan
tersebut diakui oleh orang Ware, berjanjilah Puatta MatinroE ri
Bontoala dengan MatinroE ri Tompo’tikka untuk
mengangkat We Pattekke Tana sebagai Datu Luwu
sampai kepada anak cucunya. Kesepakatan ini disetujui oleh orang Ware yang
disaksikan oleh TellumpoccoE.
Dari
perkawinan We Pattekke Tana dengan La Onro To Palaguna
lahirlah Batara Tungke Sitti Fatimah. Kemudian Sitti
Fatimah kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La
Rumpang Megga To Sappaile Cenning ri Luwu. Anak dari We Yasiya
Opu Pelai Lemolemo dengan suaminya yang bernama La Ummareng
Opu To Mallinrung.
We
Fatimah melahirkan tiga orang anak, yaitu We Tenri Leleang,
inilah yang menjadi pewaris Datu Luwu. Yang kedua La
Tenri Oddang atau La Oddang Riwu Daeng Mattinring,
dialah yang menjadi pewaris Arung Tanete. Sedangkan yang
ketiga La Tenri Angke Datu WaliE, dialah Datu Mario
Riwawo.
Merasa usianya semakin renta, La Tenri
Tatta To Unru Petta To RisompaE MalampeE Gemme’na memilih untuk
menetap di Tanah Makassar. Tahun 1696 M. ia meninggal dunia di rumahnya di
Bontoala, maka dinamakanlah MatinroE ri Bontoala. La
Tenri Tatta Arung Palakka yang juga bernama Sultan Saaduddin dikuburkan
di Bonto Biraeng berdampingan dengan makam Sultan Hasanuddin MatinroE
ri Bontoala.
Kerajaan Siang
Dari
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kerajaan Siang adalah sebuah kerajaan yang pernah
ada dan berkembang di bagian barat jazirah Sulawesi Selatan,
Bekas pusat wilayahnya berada di Sengkae', kelurahan samalewa,kecamatan
bungoro, Kabupaten
Pangkajene dan Kepulauan atau Pangkep saat ini. Dan merupakan lokasi Makam Raja Siang Yang Tepatnya Berada di Kampung
Siang.Siang dalam nomenklatur Portugis disebut Sciom atau Ciom. Nama “Siang” berasal dari kata “ kasiwiang” , yang berarti persembahan kepada raja (homage rendu a' un souverain) . (Pelras, 1977 : 253). Bekas pusat wilayah Kerajaan Siang, SengkaE – sekarang ini terletak di Desa Bori Appaka, Kecamatan Bungoro, Pangkep – telah dikunjungi oleh Kapal – kapal Portugis antara tahun 1542 dan 1548. (M Ali Fadhillah, 2000 dalam Makkulau, 2007).
Pelras mengemukakan bahwa selama masa pengaruh Luwu di semenanjung timur Sulawesi Selatan, kemungkinan dari Abad X hingga Abad XVI, terdapat kerajaan besar lain di semenanjung barat, dikenal dengan nama Siang, yang pertama kali muncul pada sumber Erofah dalam peta Portugis bertarikh 1540. Menurut catatan Portugis dari Abad 16, Tallo atau Kerajaan Tallo pernah ditaklukkan oleh Kerajaan Gowa dan Gowa sendiri mengakui Kerajaan Siang sebagai kerajaan yang “lebih besar” dan lebih kuat dari mereka. (Andaya, 2004).
Sumber Portugis menyebutkan Siang pernah diperintah seorang raja bernama Raja Kodingareng (Gadinaro, menurut dialek orang Portugis), sezaman dengan Don Alfonso, Raja Portugal I dan Paus Pascal II. (Pelras, 1985, A Zainal Abidin Farid : 1986 dalam Makkulau, 2007).
Catatan Portugis tentang Kerajaan Siang
Pada tahun 1540 atau jauh sebelumnya, pelabuhan Siang sudah banyak dikunjungi pedagang dari berbagai penjuru kepulauan Nusantara, bahkan dari Erofah. Pengamat Portugis, Manuel Pinto, memperkirakan pada tahun 1545 Siang berpenduduk sekitar 40.000 jiwa. Penguasanya sangat yakin terhadap sumber – sumber daya dan kekayaan alam yang dimiliki oleh negaranya sehingga menawarkan untuk menyuplai seluruh kebutuhan pangan Kerajaan Malaka (Pelras 1973 : 53).Menurut catatan Portugis dari Abad 16, Gowa dan Tallo pernah jadi vasal Siang. Tradisi lisan setempat mempertahankan pandangan ini. Penemuan Arkeologi berharga di bekas wilayah Siang kelihatannya lebih memperkuat asumsi bahwa kerajaan ini adalah bisa jadi adalah kerajaan besar di pantai barat Sulawesi Selatan sebelum bangkitnya Gowa dan Tallo (Pelras, 1973 : 54).
Pada Tahun 1542, Antonio de Paiva, menyinggahi pusat wilayah Kerajaan Siang dan tinggal di Siang untuk beberapa waktu, sebelum melanjutkan perjalanan ke arah utara menuju Sulawesi Tengah untuk mencari Kayu Cendana (sandal wood) . Ketika kembali tahun 1544, de Paiva singgah di tiga tempat, yaitu : Suppa, Siang dan Gowa (Pelras, 1973 : 41). Catatan de Paiva menyebutkan bahwa Gowa adalah sebuah kota yang besar “yang dulunya merupakan kerajaan bawahan Siang, namun tidak lagi begitu”. (Pelras, 1973 : 47). Laporan de Paiva ini menunjukkan kemungkinan Siang berada pada puncak kejayaan dan kemasyhuran sekitar Abad 14 – akhir Abad 16.
Pelras dari penelitian awalnya terhadap sumber Erofah dan sumber lokal, menyatakan Siang, sebagai pusat perdagangan penting dan mungkin juga secara politik antara Abad XIV - XVI. Pengaruhnya menyebar hingga seluruh pantai barat dan daerah yang dulunya dikenal Kerajaan Limae Ajattapareng hingga ke selatan perbatasan Kerajaan Makassar, yakni Gowa-Tallo. Pada pertengahan Abad XVI, Kerajaan Siang menurun pengaruhnya oleh naiknya kekuatan politik baru di pantai barat dengan pelabuhannya yang lebih strategis, Pelabuhan SombaOpu. Kerajaan itu tak lain Kerajaan Gowa, yang mulai gencar melancarkan ekspansi pada masa pemerintahan Raja Gowa IX,Karaeng Tumapakrisika Kallonna. Persekutuan Kerajaan Gowa dan Tallo akhirnya membawa petaka bagi Siang, sampai akhirnya mati dan terlupakan, di penghujung Abad XVI. (Pelras 1977 : 252-5).
Sumber Lisan dan Tulisan tentang Kerajaan Siang
Abdul Razak Dg Mile menyatakan bahwa Raja Siang yang pertama disebut Tu-manurunge Ri Bontang (A. Razak Dg Mile, PR : 1975). Sementara M Taliu menyebut periode pertama Kerajaan Siang, digagas seorang tokoh perempuan, Manurunga ri Siang , bernama Nasauleng atau Nagauleng bergelar Puteri Kemala Mutu Manikkang. Garis keturunan Tomanurung Ri Siang inilah yang berganti-ganti menjadi raja di Siang (asossorangi ma'gauka) sampai tiba masanya Karaengta Allu memerintah di Siang paska Kerajaan Siang dibawah dominasi Kerajaan Gowa. (Taliu, 1997 dalam Makkulau, 2005).Sumber tradisi lisan menyebutkan bahwa penggagas dinasti Siang mempunyai lima saudara laki-laki dan perempuan yang masing – masing mendirikan Kerajaan Gowa, Bone, Luwu, Jawa dan Manila. Dalam tradisi tutur yang berkembang di Pangkajene diyakini bahwa Siang mempunyai tempat istimewa dibandingkan dengan kerajaan lainnya. Barangkali keterangan Pelras mengonfirmasikan tradisi tersebut, bahwa kendati Siang telah menjadi vasal Gowa pada akhir Abad XVII, adat Siang mengharuskan agar Raja – raja dari negeri besar lain yang melintasi teritori Siang memberi hormat pada “Karaeng Siang”. (M Ali Fadhillah, 2000 : 17).
Sumber Portugis banyak menunjuk periode-periode awal pertumbuhan situs-situs niaga di pesisir barat, sebagaimana catatan Pelras (1977 : 243) melihat, gelombang kedatangan Portugis ke Siang sepanjang pertengahan pertama dan akhir Abad XVI, mengacu pada masa dimana Siang sedang menurun dalam perannya sebagai kota niaga dan pusat politik di pesisir barat teritori Makassar. Dugaan itu mempunyai estimasi bahwa Siang mengacu pada apa yang dilukiskan orang dengan istilah Makassar (Macacar).(M Ali Fadhillah, 2000 dalam Makkulau, 2007).
Dari kesejajaran konteks sejarahnya dengan Bantaeng di pesisir selatan, Siang dapat diterangkan pada periode pertama sebagai pelabuhan kurang dikenal, tetapi bukti-bukti arkeologi mendorong kita mengajukan estimasi awal bahwa Siang telah masuk dalam jaringan perdagangan mungkin langsung dengan pelabuhan-pelabuhan sebelah barat kepulauan. Apabila Bantaeng dan Luwu pada masa jatuhnya Kerajaan Majapahit di Jawa mulai pudar peranannya, sebaliknya Siang, semakin meningkat dengan jatuhnya Kerajaan Malaka berkat gelombang kedatangan pedagang Melayu dari Johor, Pahang dan mungkin dari daratan Asia Tenggara daratan lainnya. (Makkulau, 2005).
Pada periode kedua, sejalan dengan semakin jauhnya garis pantai akibat pengendapan sungai Siang sebagai akses utama memasuki kota itu, dan kepindahan koloni pedagang Melayu ke Gowa di pesisir barat, bahkan sampai Suppa dan Sidenreng di daratan tengah Sulawesi Selatan membuat Siang kehilangan fungsi utamanya sebagai sebuah pelabuhan penting, dibarengi meredupnya pengaruh pusat politiknya. Sampai disini, nasib Siang tidak berbeda dengan Bantaeng, eksis tetapi berada dibawah bayang-bayang kontrol kekuasaan Gowa-Tallo. (Fadhillah et, al, 2000 dalam Makkulau, 2005).
Pusat kerajaan Siang pada mulanya tumbuh berkat adanya sumber-sumber alam : kelautan, hasil hutan dan mungkin mineral serta padi ladang yang dieksploitasi oleh suatu populasi penduduk Makassar yang telah lama mengenal jaringan perdagangan laut yang luas dengan memanfaatkan muara sungai sebagai akses komunikasi utama. Frekuensi kontaknya dengan komunitas lain membawa perubahan pada pola ekonomi, terutama setelah mengenal teknologi penanaman padi basah (sawah) dan memungkinkan peralihan kegiatan ekonomi sampai ke pedalaman dengan pembukaan hutan-hutan untuk peningkatan produksi padi sebagai komoditas utama. (Makkulau, 2005, 2007).
Tome Pires mencatat bahwa satu tahun setelah jatuhnya Kerajaan Malaka (Tahun 1511), Pulau – pulau Macacar (Makassar) merupakan tempat – tempat yang terikat dalam jaringan perdagangan interinsuler. Meskipun Pires menduga bahwa perdagangan Macacar masih kurang penting, tetapi sejak itu, sudah menawarkan rute langsung ke Maluku dengan melalui pesisir – pesisir selatan Kalimantan dan Sulawesi ; sebuah alternatif dari rute tradisional melalui pesisir utara Jawa dan kepulauan Nusa Tenggara. Namun kita harus menunggu sampai pertengahan Abad XVI, untuk mengetahui gambaran Sulawesi Selatan, yaitu sejak perjalanan Antonio de Paiva (1542-1543) dan Manuel Pinto (1545-1548) ke pesisir barat Sulawesi Selatan. Tome Pires menyebut beras sebagai produk utama Macacar. Dan kenyataannya, para pelaut Portugis belakangan telah mempunyai kesan khusus akan kesuburan negeri-negeri Sulawesi Selatan yang terkenal dengan hasil hutan, beras dan makanan lainnya. (Cortesao, 1944 dalam Fadhillah,et.al, 2000).
Tonggak sejarah kolonial di Gowa tahun 1667 juga berdampak kuat di Siang. Kekalahan Gowa menghadapi aliansi Belanda-Bone berarti juga kekalahan dinasti Gowa dan kebangkitan kembali dinasti Barasa yang mendukung Arung Palakka. I Johoro Pa'rasanya Tubarania naik sebagai penguasa lokal, I Joro juga digelari Lo'moki Ba'le (penguasa dari seberang), karena ia kembali dari seberang laut (Jawa dan Sumatera) mengikuti misi Arung Palakka ke negeri sebelah barat nusantara. (Makkulau, 2005, 2007).
Sejarah kekaraengan Lombassang atau Labakkang mulai dikenal sesudah menurunnya pamor politik ekonomi Siang. Penguasa Labakkang turut membantu Gowa menundukkan Kerajaan Barasa, dinasti pengganti Siang di Pangkajene. Setelah Gowa kalah dari Kompeni Belanda (1667), Labakkang lepas dari Gowa dan masuk ke dalam kontrol VOC sebelum akhirnya menjadi wilayah administrasi Noorderpprovincien , lalu menjadi Noorderdistrichten dalam kendali administrasi Belanda berpusat di Fort Rotterdam ( Benteng Jumpandang ). Somba Labakkang ketika itu didampingi anggota adat Bujung Tallua , yang berkuasa di unit politik dan teritorial sendiri, yakni di Malise, Mangallekana dan Lombasang, sebelum lebih kompleks lagi dengan bergabungnya Penguasa - penguasa kecil lainnya. (Makkulau, 2005, 2008).
Sistem politik yang diterapkan Kerajaan Gowa terhadap negeri – negeri taklukannya itu adalah menempatkan Bate Ana' Karaeng , biasa disebut bate-bate'a). kemudian disusul perkawinan keluarga Kerajaan Gowa, pada puncaknya Kerajaan Siang menjadi negeri keluarga kerajaan Gowa yang tidak lagi bisa dipisahkan sampai tahun 1668. Sampai saat ini tidak ada satupun sumber sejarah dapat memastikan umur Kerajaan Siang sampai ditaklukkan Kerajaan Gowa – Tallo. Kerajaan Siang dibawah hegemoni pemerintahan Gowa sekitar 1512 - 1668. (Makkulau, 2005).
Sistem budaya yang mewarnai kehidupan masyarakat Siang adalah tradisi kultural Gowa, terutama sekali menyangkut hubungan perkawinan antar keluarga raja dan bangsawan Gowa. Penguasa Siang punya hubungan kekeluargaan dengan keluarga kerajaan Luwu, Soppeng, Tanete, dan Bone karena pihak keluarga Kerajaan Gowa juga mengadakan hubungan perkawinan (kawin-mawin) antar keluarga Kerajaan Luwu. Kemudian Luwu kawin-mawin dengan Soppeng, Soppeng kawin-mawin dengan Tanete dan Tanete kawin-mawin dengan Bone.
Ringkasnya, keturunan produk sistem kawin - mawin itu telah menjalin hubungan kekerabatan semakin luas. Siang dan beberapa unit teritori politik seperti Barasa (Pangkajene), Lombasang (Labakkang), Segeri, Ma'rang dan Segeri juga mengadakan kawin mawin antar keluarga kerajaan. Barasa berafiliasi Gowa, Bone dan Soppeng. Demikian pula Ma'rang dan Segeri. Sedang Labakkang dengan Gowa, walaupun pada awalnya Labakkang merupakan keturunan Raja – raja Luwu, Soppeng dan Tanete. Tradisi kawin-mawin inilah yang menyebabkan masyarakat Pangkep telah menyatukan darah orang Bugis Makassar dalam wujud keturunan, bahasa, tradisi dan adat – istiadat. (Makkulau, 2005, 2007).
Silsilah Keturunan Raja Siang
Silsilah raja – raja Siang setelah tampuk pemerintahan Siang dipegang Karaengta Allu adalah sebagai berikut : (1) Karaeng Allu ; (2) Johor atau Johoro' (Mappasoro) Matinroe' ri Ponrok, yang bersama Arung Palakka ke Pariaman pada abad ke-17 ; (3) Patolla Dg Malliongi ; (4) Pasempa Dg Paraga ; (5) Mangaweang Dg Sisurung ; (6) Pacandak Dg Sirua (Karaeng Bonto – Bonto) ; (7) Palambe Dg Pabali (Karaeng Tallanga) , sezaman dengan datangnya Belanda di Pangkajene ; (8) Karaeng Kaluarrang dari Labakkang ; (9) Ince Wangkang dari Malaka ; (10) Sollerang Dg Malleja ; (11) Andi Pappe Dg Massikki, berasal dari Soppeng ; (12) Andi Papa Dg Masalle ; (13) Andi Jayalangkara Dg Sitaba ; (14) Andi Mauraga Dg Malliungang ; (15) Andi Burhanuddin ; (16) Andi Muri Dg Lulu. (Makkulau, 2005 ; 2007).Setiap ada upacara perayaan seperti pengangkatan raja baru, pergantian raja atau upacara kebesaran lainnya yang berhubungan dengan raja, maka diwajibkan hadir Anrong Appaka ri Siang, yaitu : (1) Daeng ri Sengkaya ; (2) Lo'moka ri Kajuara ; (3) Gallaranga ri Lesang ; (4) Gallaranga ri Baru-baru. Setelah empat orang bate-bate'a ini hadir, barulah pelantikan atau acara ‘Kalompoanga ri Siang' dapat dianggap sah. Selain keempat bate-bate'a ini juga diharapkan hadir Oppoka ri Pacce'lang. (Makkulau, 2005 ; 2007)
Secara sederhana, silsilah Raja – raja Siang saat dibawah dominasi Gowa ( A.Razak Dg Mile, PR : 1957 ) sebagai berikut : (a) Raja – raja dari keturunan ‘Tumanurunga ri Bontang' diperistri oleh yang bergelar ‘Si Tujuh Lengan'. Tidak diketahui berapa generasi ! (b) Keturunan Karaengta Allu (Setelah Siang ditaklukkan oleh kerajaan Gowa), juga tidak diketahui berapa generasi. (c) Keturunan I Johor atau Johoro' (Mappasoro'), sahabat Arung Palakka, dimana Arung Palakka menjadi Raja Bone sejak tahun 1672. (d) Raja – raja yang berasal dari Kerajaan Siang sendiri, mulai dari keturunan Pattola Dg Malliongi (di masa kompeni Belanda). (Makkulau, 2005 ; 2007)
Temuan Arkeologi
Hasil penelitian arkeologi Balai Arkeologi Makassar dan UNHAS menyebutkan bahwa ibukota Kerajaan Siang terletak pada sebuah lokasi yang dikelilingi oleh benteng kota (batanna kotayya). Bentengnya mengelilingi lahan yang sekarang menjadi kompleks kuburan yang dikeramatkan. Alur benteng Siang (batanna kotayya) diperkirakan berbentuk huruf U, kedua ujungnya bermuara di Sungai Siang yang telah mati. (Fadhillah, et.al, 2000 : 27). Indikasi arkeologis pada lokasi situs berupa gejala perubahan rupa bumi dan proses pengendapan telah menjauhkan pusat Kerajaan Siang dari pesisir. Kemunduran Siang, yang diperkirakan terjadi pada akhir Abad 16.Kemenangan Gowa-Labakkang atas Barasa memberikan hak kerabat raja Gowa menduduki tahta Barasa, gelar sesudah matinya : Karaeng Matinroe ri Kammasi yang diganti oleh Karaeng Allu. Yang terakhir ini mengalihkan pusat politiknya kembali ke Siang, dan seolah menghidupkan kembali kebesaran Siang dengan memakai gelar Karaeng Siang, juga membentuk dewan adat Anrong Appaka (empat bangsawan kepala) : Kare Kajuara, Kare Sengkae, Kare Lesang dan Kare Baru-baru . Masing-masing kare mengepalai pusat kecil kekuasaan dan membentuk konfederasi dibawah otoritas Siang baru (periode Islam). Karaengta Allu juga yang menempatkan Kalompoang atau Arajang Siang dibawah pemeliharaan Oppoka ri Paccelang. (Fadhillah, et.al, 2000).
Temuan – temuan fragmen keramik hasil ekskavasi situs Siang di SengkaE, Bori Appaka, Bungoro berupa Piring dan Mangkuk Ching BW, Cepuk Cing, Mangkuk Swatow BW, Mangkuk Wangli BW, Mangkuk Ming BW, Piring Ming Putih, Piring Swatow, yang berasal dari Abad 17 - Abad 18. Juga ada fragmen keramik dari Abad 16 seperti Vas Swankalok, Mangkuk Ming BW, Piring Ming BW, Piring dan Tempayan Vietnam. Jumlah keseluruhan temuan sebanyak 38 fragmen keramik. Keramik Asing Dinasti Ching memberi kronologi relatif lapisan budaya Siang menyampaikan periode relatif berlangsunnya lapisan budaya negeri Siang, yang sekurang-kurang berasal dari Abad 17 - Abad 18 (M Ali Fadhillah dkk, 2000 : 72).
Rujukan yang disebut dalam artikel
- Makkulau, M. Farid W. 2005. Sejarah dan Kebudayaan Pangkep - 1. Pangkep : Pemkab Pangkep.
- Makkulau, M. Farid W. 2007. Sejarah dan Kebudayaan Pangkep. Pangkep : Pemkab Pangkep.
- Makkulau, M. Farid W. 2008. Sejarah Kekaraengan di Pangkep. Makassar :'Pustaka Refleksi.
Kesultanan Gowa
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Istana raja Gowa (1870-1892)
Litografi
istana raja Gowa di tahun 1880-an (berdasarkan lukisan oleh Josias
Cornelis Rappard)
Kesultanan Gowa atau kadang ditulis Goa, adalah salah satu
kerajaan besar dan paling sukses yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat
dari kerajaan ini berasal dari Suku Makassar yang
berdiam di ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi. Wilayah kerajaan ini
sekarang berada di bawah Kabupaten
Gowa dan beberapa bagian daerah sekitarnya. Kerajaan ini memiliki raja yang
paling terkenal bergelar Sultan Hasanuddin, yang
saat itu melakukan peperangan yang dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669) terhadap VOC yang dibantu oleh Kerajaan
Bone yang dikuasai oleh satu wangsa
Suku Bugis dengan rajanya
Arung Palakka. Perang
Makassar bukanlah perang antarsuku karena pihak Gowa memiliki sekutu dari
kalangan Bugis; demikian pula pihak Belanda-Bone memiliki sekutu orang
Makassar. Perang Makassar adalah perang terbesar VOC yang pernah dilakukannya
di abad ke-17.Sejarah
Sejarah awal
Pada awalnya di daerah Gowa terdapat sembilan komunitas, yang dikenal dengan nama Bate Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian menjadi pusat kerajaan Gowa: Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero dan Kalili. Melalui berbagai cara, baik damai maupun paksaan, komunitas lainnya bergabung untuk membentuk Kerajaan Gowa. Cerita dari pendahulu di Gowa dimulai oleh Tumanurung sebagai pendiri Istana Gowa, tetapi tradisi Makassar lain menyebutkan empat orang yang mendahului datangnya Tumanurung, dua orang pertama adalah Batara Guru dan saudaranyaAbad ke-16
Tumapa'risi' Kallonna
Memerintah pada awal abad ke-16, di Kerajaan Gowa bertakhta Karaeng (Penguasa) Gowa ke-9, bernama Tumapa'risi' Kallonna. Pada masa itu salah seorang penjelajah Portugis berkomentar bahwa "daerah yang disebut Makassar sangatlah kecil". Dengan melakukan perombakan besar-besaran di kerajaan, Tumapa'risi' Kallonna mengubah daerah Makassar dari sebuah konfederasi antar-komunitas yang longgar menjadi sebuah negara kesatuan Gowa. Dia juga mengatur penyatuan Gowa dan Tallo kemudian merekatkannya dengan sebuah sumpah yang menyatakan bahwa apa saja yang mencoba membuat mereka saling melawan (ampasiewai) akan mendapat hukuman Dewata. Sebuah perundang-undangan dan aturan-aturan peperangan dibuat, dan sebuah sistem pengumpulan pajak dan bea dilembagakan di bawah seorang syahbandar untuk mendanai kerajaan. Begitu dikenangnya raja ini sehingga dalam cerita pendahulu Gowa, masa pemerintahannya dipuji sebagai sebuah masa ketika panen bagus dan penangkapan ikan banyak.[1]Dalam sejumlah penyerangan militer yang sukses penguasa Gowa ini mengalahkan negara tetangganya, termasuk Siang dan menciptakan sebuah pola ambisi imperial yang kemudian berusaha ditandingi oleh penguasa-penguasa setelahnya di abadl ke-16 dan ke-17. Kerajaan-kerajaan yang ditaklukkan oleh Tumapa'risi' Kallonna diantaranya adalah Kerajaan Siang, serta Kerajaan Bone, walaupun ada yang menyebutkan bahwa Bone ditaklukkan oleh Tunipalangga.[1]
Tunipalangga
Tunipalangga dikenang karena sejumlah pencapaiannya, seperti yang disebutkan dalam Kronik (Cerita para pendahulu) Gowa, diantaranya adalah:- Menaklukkan dan menjadikan bawahan Bajeng, Lengkese, Polombangkeng, Lamuru, Soppeng, berbagai negara kecil di belakang Maros, Wajo, Suppa, Sawitto, Alitta, Duri, Panaikang, Bulukumba dan negara-negara lain di selatan, dan wilayah pegunungan di selatan.
- Orang pertama kali yang membawa orang-orang Sawitto, Suppa dan Bacukiki ke Gowa.
- Menciptakan jabatan Tumakkajananngang.
- Menciptakan jabatan Tumailalang untuk menangani administrasi internal kerajaan, sehingga Syahbandar leluasa mengurus perdagangan dengan pihak luar.
- Menetapkan sistem resmi ukuran berat dan pengukuran
- Pertama kali memasang meriam yang diletakkan di benteng-benteng besar.
- Pemerintah pertama ketika orang Makassar mulai membuat peluru, mencampur emas dengan logam lain, dan membuat batu bata.
- Pertama kali membuat dinding batu bata mengelilingi pemukiman Gowa dan Sombaopu.
- Penguasa pertama yang didatangi oleh orang asing (Melayu) di bawah Anakhoda Bonang untuk meminta tempat tinggal di Makassar.
- Yang pertama membuat perisai besar menjadi kecil, memendekkan gagang tombak (batakang), dan membuat peluru Palembang.
- Penguasa pertama yang meminta tenaga lebih banyak dari rakyatnya.
- Penyusun siasat perang yang cerdas, seorang pekerja keras, seorang narasumber, kaya dan sangat berani.[1]
Raja-raja Kesultanan Gowa
I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bonto Nompo Sultan
Muhammad Tahur Muhibuddin Tuminanga ri Sungguminasa (bertahta 1936-1946)
mendengarkan pidato pengangkatan pejabat gubernur Celebes, Tn. Bosselaar (awal
tahun 1930-an)
- Tumanurunga (+ 1300)
- Tumassalangga Baraya
- Puang Loe Lembang
- I Tuniatabanri
- Karampang ri Gowa
- Tunatangka Lopi (+ 1400)
- Batara Gowa Tuminanga ri Paralakkenna
- Pakere Tau Tunijallo ri Passukki
- Daeng Matanre Karaeng Tumapa'risi' Kallonna (awal abad ke-16)
- I Manriwagau Daeng Bonto Karaeng Lakiyung Tunipallangga Ulaweng (1546-1565)
- I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatte
- I Manggorai Daeng Mameta Karaeng Bontolangkasa Tunijallo (1565-1590).
- I Tepukaraeng Daeng Parabbung Tuni Pasulu (1593).
- I
Mangari Daeng Manrabbia Sultan Alauddin Tuminanga ri Gaukanna
Berkuasa mulai tahun 1593 - wafat tanggal 15 Juni 1639. Merupakan penguasa Gowa pertama yang memeluk agama Islam.[1] - I
Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiyung Sultan Malikussaid Tuminanga ri
Papang Batuna
Lahir 11 Desember 1605, berkuasa mulai tahun 1639 hingga wafatnya 6 November 1653 - I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng
Bonto Mangape Sultan Hasanuddin Tuminanga ri Balla'pangkana
Lahir tanggal 12 Juni 1631, berkuasa mulai tahun 1653 sampai 1669, dan wafat pada 12 Juni 1670 - I
Mappasomba Daeng Nguraga Sultan Amir Hamzah Tuminanga ri Allu'
Lahir 31 Maret 1656, berkuasa mulai tahun 1669 hingga 1674, dan wafat 7 Mei 1681. - I Mallawakkang Daeng Mattinri Karaeng Kanjilo Tuminanga ri Passiringanna
- Sultan
Mohammad Ali (Karaeng Bisei) Tumenanga ri Jakattara
Lahir 29 November 1654, berkuasa mulai 1674 sampai 1677, dan wafat 15 Agustus 1681 - I Mappadulu Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone Sultan Abdul Jalil Tuminanga ri Lakiyung. (1677-1709)
- La Pareppa Tosappe Wali Sultan Ismail Tuminanga ri Somba Opu (1709-1711)
- I Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminang ri Pasi
- I Manrabbia Sultan Najamuddin
- I Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminang ri Pasi. (Menjabat untuk kedua kalinya pada tahun 1735)
- I Mallawagau Sultan Abdul Chair (1735-1742)
- I Mappibabasa Sultan Abdul Kudus (1742-1753)
- Amas Madina Batara Gowa (diasingkan oleh Belanda ke Sri Lanka) (1747-1795)
- I Mallisujawa Daeng Riboko Arungmampu Tuminanga ri Tompobalang (1767-1769)
- I Temmassongeng Karaeng Katanka Sultan Zainuddin Tuminanga ri Mattanging (1770-1778)
- I Manawari Karaeng Bontolangkasa (1778-1810)
- I Mappatunru / I Mangijarang Karaeng Lembang Parang Tuminang ri Katangka (1816-1825)
- La Oddanriu Karaeng Katangka Tuminanga ri Suangga (1825-1826)
- I Kumala Karaeng Lembang Parang Sultan Abdul Kadir Moh Aidid Tuminanga ri Kakuasanna (1826 - wafat 30 Januari 1893)
- I Malingkaan Daeng Nyonri Karaeng Katangka Sultan Idris Tuminanga ri Kalabbiranna (1893- wafat 18 Mei 1895)
- I Makkulau Daeng Serang Karaeng
Lembangparang Sultan Husain Tuminang ri Bundu'na
Memerintah sejak tanggal 18 Mei 1895, dimahkotai di Makassar pada tanggal 5 Desember 1895. Ia melakukan perlawanan terhadap Hindia Belanda pada tanggal 19 Oktober 1905 dan diberhentikan dengan paksa oleh Hindia Belanda pada 13 April 1906. Ia meninggal akibat jatuh di Bundukma, dekat Enrekang pada tanggal 25 Desember 1906.[2] - I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bonto Nompo Sultan Muhammad Tahur Muhibuddin Tuminanga ri Sungguminasa (1936-1946)
- Andi Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidudin (1956-1960) merupakan Raja Gowa terakhir, meninggal di Jongaya pada tahun 1978.
Kerajaan Wajo
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kerajaan Wajo adalah sebuah kerajaan yang didirikan sekitar tahun 1450, di wilayah yang menjadi Kabupaten Wajo saat ini
di Sulawesi Selatan.
Penguasanya disebut "Raja Wajo". Wajo adalah kelanjutan dari kerajaan
sebelumnya yaitu Cinnotabi. Ada tradisi lisan yakni pau-pau rikadong dianggap
sebagai kisah terbentuknya wajo. yaitu putri dari Luwu, We TAdampali yang
mengidap sakit kulit kemudian diasingkan dan terdampar di Tosora. Selanjutnya
beliau bertemu dengan putra Arumpone yang sedang berburu. Akhirnya mereka
menikah dan membentuk dinasti di Wajo Ada juga tradisi lisan lain yaitu kisah
La Banra, seorang pangeran Soppeng yang merantau ke Sajoanging dan membuka
tanah di Cinnotabi.- Wajo mengalami perubahan struktural pasca Perjanjian Lapadeppa yang berisi tentang pengakuan hak-hak kemerdekaan orang Wajo. Dimana posisi Batara Wajo yang bersifat monarki absolut diganti menjadi Arung Matowa yang bersifat monarki konstitusional
- Masa keemasan Wajo dicapai di pemerintahan La Tadampare Puangrimaggalatung.
- Wajo menjadi anggota persekutuan Tellumpoccoe sebagai saudara tengah bersama Bone sebagai saudara tua dan Soppeng sebagai saudara bungsu
- Wajo memeluk islam secara resmi ditahun 1610 pada pemerintahan La Sangkuru patau mulajaji sultan Abdurahman dan Dato Sulaiman menjadi Qadhi pertama Wajo. Setelah Dato Sulaiman kembali ke Luwu melanjutkan dakwah yang telah dilakukan sebelumnya, Dato ri Tiro melanjutkan tugas Dato Sulaiman. Setelah selesai Dato ri Tiro ke Bulukumba dan meninggal disana
- Wajo terlibat perang makassar 1660-1669 disebabkan karena persoalan geopolitik di dataran tengah sulawesi yang tidak stabil dan posisi Arung Matowa La Tenrilai To Sengngeng sebagai menantu Sultan Hasanuddin. Kekalahan Gowa tidak menyebabkan La Tenrilai rela untuk menandatangani perjanjian Bongayya, sehingga Wajo diserang oleh pasukan gabungan setelah terlebih dahulu Lamuru yang juga berpihak ke Sultan Hasanuddin juga diserang.
- Kekalahan Wajo menyebabkan banyak masyarakatnya pergi meninggalkan Wajo dan membangun komunitas sosial ekonomi didaerah rantauannya. La Mohang Daeng Mangkona salah satu panglima perang Wajo yang tidak terima kekalahan merantau ke Kutai dan membuka lahan yang kini dikenal sebagai Samarinda
- Pada pemerintahan La Salewangeng to tenrirua Arung Matowa ke 30, beliau membangun Wajo pada sisi ekonomi dan militer dengan cara membentuk koperasi dan melakukan pembelian senjata serta melakukan pelatihan penggunaan senjata.
- La Maddukkelleng kemenakan La Salewangeng menjadi Arung Matowa 31 dilantik disaat perang. pada zamannya beliau memajukan posisi wajo secara sosial politik di antara kerajaan-kerajaan di sulsel
- La Koro Arung Padali, memodernisasi struktur kerajaan Wajo dengan membentuk jabatan militer Jenerala (Jendral) Koronele (Kolonel) Manynyoro (Mayor) dan Kapiteng (Kapten). Beliau juga menandatangani Large Veklaring sebagai pembaruan dari perjanjian bongayya
- Pada zaman Ishak Manggabarani,persekutuan Wajo dengan Bone membuat keterlibatan Wajo secara tidak langsung pada Rumpa'na Wajo. Sehingga kekalahan Bone melawan Kompeni juga harus ditanggung oleh Wajo sehingga Wajo harus membayar denda perang pada Kompeni dan menandatangani Korte Veklaring sebagai pembaruan dari Large Veklaring
- Wajo dibawah RIS dalam hal ini NIT berbentuk swapraja pada tahun 1945-1949. Setelah Konfrensi Meja Bundar, Wajo bersama swapraja lain akhirnya menjadi kabupaten tepatnya ditahun 1957. Antara tahun 1950-1957 pemerintahan tidak berjalan secara maksimal disebabkan gejolak pemberontahan DI TII
- Setelah 1957, pemimpin di Wajo adalah Bupati. Wajo yang dulunya kerajaan, kemudian menjadi Onderafdeling, selanjutnya Swapraja akhirnya menjadi kabupaten
- ==Pra Wajo==
- Komune Awal
- 1.Puangnge ri Lampulung kepala Komunitas Lampulungeng
- 2.Puangnge ri Timpengeng kepala Komunitas Boli
- Kerajaan Cinnotabi
- 1.La Paukke
- 2.We Panangngareng
- 3.We Tenrisui
- 4.La Patiroi
- 5.La Tenribali dan La Tenritippe
- Perjanjian Majauleng --> Pembentukan Kerajaan Wajo
- == Daftar raja Wajo ==
- Batara Wajo (gelar raja wajo pertama)
- 1. La Tenribali
- 2. La Mataesso
- 3. La Pateddungi to samallangi
- Vakum
- Perjanjian Lapadeppa --> Perubahan struktur kerajaan wajo pengakuan hak-hak rakyat Wajo
- Arung Matowa (gelar raja wajo berikutnya)
- 1. La Palewo to Palippu (±1474-1481)
- 2. La Obbi Settiriware (±1481-1486)
- 3. La Tenriumpu to Langi (±1486-1491)
- 4. La Tadampare Puangrimaggalatung (±1491-1521) Lowong 3 tahun
- 5. La Tenri Pakado To Nampe (±1524-1535)
- 6. La Temmassonge (±1535-1538).
- 7. La Warani To Temmagiang (±1538-1547).
- 8. La Malagenni (±1547)
- 9. La Mappauli To Appamadeng (±1547-1564)
- 10. La Pakoko To Pa’bele’ (±1564-2567)
- 11. La Mungkace To Uddamang (±1567-1607)
- 12. La Sangkuru Patau Mulajaji (±1607-1610)
- 13. La Mappepulu To Appamole (±1612-1616)
- 14. La Samalewa To Appakiung (±1616-1621)
- 15. La Pakallongi To Alinrungi (±1621-1626)
- 16. To Mappassaungnge (±1627-1628).
- 17. La Pakallongi To Alinrungi (1628-1636),
- 18. La Tenri lai to Udamang (1636-1639)
- 19. Isigajang To Bunne (±1639-1643),
- 20. La Makkaraka To Patemmui (±1643-1648).
- 21. La Temmasonge (±1648-1651)
- 22. La Paramma To Rewo (±1651-1658)
- 23. La Tenri Lai To Sengngeng (±1658-1670)
- 24. La Palili To Malu’ (±1670-1679)
- 25. La Pariusi Daeng Manyampa (±1679-1699),
- 26. La Tenri Sessu (±1699-1702)
- 27. La Mattone’ (±1702-1703)
- 28. La Galigo To Sunnia (±1703-1712)
- 29. La Tenri Werung (±1712-1715)
- 30. La Salewangeng To Tenriruwa (±1715-1736)
- 31. La Maddukkelleng Daeng Simpuang (±1736-1754)
- 32. La Mad’danaca (±1754-1755)
- 33. La Passaung (±1758-1761)
- 34. La Mappajung puanna salowo (1761-1767)
- 35. La Malliungeng (±1767-1770) Lowong 25 tahun
- 36. La Mallalengeng (±1795-1817) Lowong 4 tahun
- 37. La Manang (±1821-1825). Lowong 14 tahun
- 38. La Pa’dengngeng (±1839-1845) Lowong 9 tahun
- 39. La Pawellangi PajumperoE (±1854-1859).
- 40. La Cincing Akil Ali (±1859-1885)
- 41. La Koro (±1885-1891)
- 42. La Patongai Datu Lompulle
- Korte Veklaring 1906 menyebabkan berubahnya status kerajaan Wajo menjadi bagian dari jajahan Belanda dan berubahnya struktur kerajaan menjadi Onder-Afdeling Wajo dibawah Afdeling Bone
- 43. Ishak Manggabarani Krg Mangeppe (1900-1916) Lowong 10 tahun
- 44. A.Oddangpero Datu Larompong (1926-1933)
- 45. A.Mangkona Datu Mario (1933-1949)
- Pjs Arung Matowa (peralihan)
- 1. A.Sumangerukka datu pattojo (ex patola putra AMW 44) 1949
- 2. A. Ninnong (ex ranreng tuwa) 1949
- Pemerintah Daerah era transisi (1950-1957)
- 1. A.Pallawarukka (ex pilla)
- 2. A. Magga Amirullah (ex sulewatang pugi)
- 3. A. Pallawarukka (masa jabatan kedua)
·
Nama-nama
Pajung/Datu Luwu
·
Berikut
ini adalah nama-nama Pajung atau Datu yang pernah memerintah Kerajaan Luwu yang
diawali oleh kepemimpinan Batara Guru dan diakhiri oleh Andi Djemma sebagai
raja terakhir.
- Batara Guru, bergelar To Manurung merupakan Pajung / Datu Luwu ke-1.
- Batara Lattu’, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 2 memerintah selama 20 tahun.
- Simpurusiang, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 3 memerintah pada tahun 1268-1293 M.
- Anakaji, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 4 memerintah pada tahun 1293-1330 M.
- Tampa Balusu, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 5 memerintah pada tahun 1330-1365 M.
- Tanra Balusu, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 6 memerintah pada tahun 1365-1402 M.
- Toampanangi, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 7 memerintah pada tahun 1402-1426 M.
- Batara Guru II, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 8 memerintah pada tahun 1426-1458 M.
- La Mariawa, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 9 memerintah pada tahun 1458-1465 M.
- Risaolebbi, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 10 memerintah pada tahun 1465-1507 M.
- Dewaraja, bergelar Maningoe’ ri Bajo merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 11 memerintah pada tahun 1507-1541 M.
- Tosangkawana, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 12 memerintah pada tahun 1541-1556 M.
- Maoge, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 13 memerintah pada tahun 1556-1571 M.
- We Tenri Rawe’, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 14 memerintah pada tahun 1571-1587 M.
- Andi Pattiware’ Daeng Parabung atau Pattiarase, bergelar Petta Matinroe’ Pattimang merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 15 memerintah pada tahun 1587-1615 M.
- Patipasaung, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 16 memerintah pada tahun 1615-1637 M.
- La Basso atau La Pakeubangan atau Sultan Ahmad Nazaruddin, bergelar Petta Matinroe’ ri Gowa (Lokkoe’) merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 17 memerintah pada tahun 1637-1663 M.
- Settiaraja, bergelar Petta Matinroe’ ri Tompoq Tikkaq merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 18 dan ke- 20 memerintah pada tahun 1663-1704 M.
- Petta Matinroe’ ri Polka, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 19, memerintah ketika Settiaraja pergi membantu Gowa menghadapi VOC.
- La Onro Topalaguna, bergelar Petta Matinroe’ ri Langkanae’ merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 21 memerintah pada tahun 1704-1706 M.
- Batari Tungke, bergelar Sultan Fatimah Petta Matinroe’ ri Pattiro merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 22 memerintah pada tahun 1706-1715 M.
- Batari Tojang, bergelar Sultan Zaenab Matinroe’ ri Tippulue’ merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 23 memerintah pada tahun 1715-1748 M.
- We Tenri Leleang, bergelar Petta Matinroe’ ri Soreang merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 24 dan ke- 26 memerintah pada tahun 1748-1778 M.
- Tosibengngareng, bergelar La Kaseng Patta Matinroe’ ri Kaluku Bodoe’ merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 25 memerintah pada tahun 1760-1765 M.
- La Tenri Peppang atau Daeng Pali’, bergelar Petta Matinroe’ ri Sabbangparu merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 27 memerintah pada tahun 1778-1810 M.
- We Tenri Awaru atau Sultan Hawa, bergelar Petta Matinroe’ ri Tengngana Luwu merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 28 memerintah pada tahun 1810-1825 M.
- La Oddang Pero, bergelar Petta Matinroe’ Kombong Beru merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 29 memerintah pada tahun 1825-1854 M.
- Patipatau atau Abdul Karim Toapanyompa, bergelar Petta Matinroe’ ri Limpomajang, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 30 memerintah pada tahun 1854-1880 M.
- We Addi Luwu, bergelar Petta Matinroe’ Temmalullu merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 31 memerintah pada tahun 1880-1883 M.
- Iskandar Opu Daeng Pali’, bergelar Petta Matinroe’ ri Matakko merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 32 memerintah pada tahun 1883-1901 M.
- Andi Kambo atau Siti Husaimah Andi Kambo Opu Daeng Risompa Sultan Zaenab, bergelar Petta Matinroe’ ri Bintanna merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 33 memerintah pada tahun 1901-1935 M.
- Andi Jemma, bergelar Petta Matinroe’ ri Amaradekanna merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 34 dan ke- 36 memerintah pada tahun 1935-1965 M.
- Andi Jelling, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 35 memerintah ketika Andi Jemma ditahan dan diasingkan oleh Belanda.
- Batara Guru, bergelar To Manurung merupakan Pajung / Datu Luwu ke-1.
- Batara Lattu’, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 2 memerintah selama 20 tahun.
- Simpurusiang, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 3 memerintah pada tahun 1268-1293 M.
- Anakaji, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 4 memerintah pada tahun 1293-1330 M.
- Tampa Balusu, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 5 memerintah pada tahun 1330-1365 M.
- Tanra Balusu, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 6 memerintah pada tahun 1365-1402 M.
- Toampanangi, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 7 memerintah pada tahun 1402-1426 M.
- Batara Guru II, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 8 memerintah pada tahun 1426-1458 M.
- La Mariawa, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 9 memerintah pada tahun 1458-1465 M.
- Risaolebbi, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 10 memerintah pada tahun 1465-1507 M.
- Dewaraja, bergelar Maningoe’ ri Bajo merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 11 memerintah pada tahun 1507-1541 M.
- Tosangkawana, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 12 memerintah pada tahun 1541-1556 M.
- Maoge, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 13 memerintah pada tahun 1556-1571 M.
- We Tenri Rawe’, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 14 memerintah pada tahun 1571-1587 M.
- Andi Pattiware’ Daeng Parabung atau Pattiarase, bergelar Petta Matinroe’ Pattimang merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 15 memerintah pada tahun 1587-1615 M.
- Patipasaung, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 16 memerintah pada tahun 1615-1637 M.
- La Basso atau La Pakeubangan atau Sultan Ahmad Nazaruddin, bergelar Petta Matinroe’ ri Gowa (Lokkoe’) merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 17 memerintah pada tahun 1637-1663 M.
- Settiaraja, bergelar Petta Matinroe’ ri Tompoq Tikkaq merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 18 dan ke- 20 memerintah pada tahun 1663-1704 M.
- Petta Matinroe’ ri Polka, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 19, memerintah ketika Settiaraja pergi membantu Gowa menghadapi VOC.
- La Onro Topalaguna, bergelar Petta Matinroe’ ri Langkanae’ merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 21 memerintah pada tahun 1704-1706 M.
- Batari Tungke, bergelar Sultan Fatimah Petta Matinroe’ ri Pattiro merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 22 memerintah pada tahun 1706-1715 M.
- Batari Tojang, bergelar Sultan Zaenab Matinroe’ ri Tippulue’ merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 23 memerintah pada tahun 1715-1748 M.
- We Tenri Leleang, bergelar Petta Matinroe’ ri Soreang merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 24 dan ke- 26 memerintah pada tahun 1748-1778 M.
- Tosibengngareng, bergelar La Kaseng Patta Matinroe’ ri Kaluku Bodoe’ merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 25 memerintah pada tahun 1760-1765 M.
- La Tenri Peppang atau Daeng Pali’, bergelar Petta Matinroe’ ri Sabbangparu merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 27 memerintah pada tahun 1778-1810 M.
- We Tenri Awaru atau Sultan Hawa, bergelar Petta Matinroe’ ri Tengngana Luwu merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 28 memerintah pada tahun 1810-1825 M.
- La Oddang Pero, bergelar Petta Matinroe’ Kombong Beru merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 29 memerintah pada tahun 1825-1854 M.
- Patipatau atau Abdul Karim Toapanyompa, bergelar Petta Matinroe’ ri Limpomajang, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 30 memerintah pada tahun 1854-1880 M.
- We Addi Luwu, bergelar Petta Matinroe’ Temmalullu merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 31 memerintah pada tahun 1880-1883 M.
- Iskandar Opu Daeng Pali’, bergelar Petta Matinroe’ ri Matakko merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 32 memerintah pada tahun 1883-1901 M.
- Andi Kambo atau Siti Husaimah Andi Kambo Opu Daeng Risompa Sultan Zaenab, bergelar Petta Matinroe’ ri Bintanna merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 33 memerintah pada tahun 1901-1935 M.
- Andi Jemma, bergelar Petta Matinroe’ ri Amaradekanna merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 34 dan ke- 36 memerintah pada tahun 1935-1965 M.
- Andi Jelling, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 35 memerintah ketika Andi Jemma ditahan dan diasingkan oleh Belanda.
Raja-raja Majapahit
Silsilah wangsa Rajasa, keluarga penguasa Singhasari
dan Majapahit. Penguasa ditandai dalam gambar ini.[34]
Para penguasa Majapahit adalah penerus dari keluarga kerajaan Singhasari,
yang dirintis oleh Sri Ranggah Rajasa, pendiri Wangsa Rajasa pada akhir
abad ke-13. Berikut adalah daftar penguasa Majapahit. Perhatikan bahwa terdapat
periode kekosongan antara pemerintahan Rajasawardhana (penguasa ke-8) dan
Girishawardhana yang mungkin diakibatkan oleh krisis suksesi yang memecahkan
keluarga kerajaan Majapahit menjadi dua kelompok[7].
Nama Raja
|
Gelar
|
Tahun
|
Kertarajasa Jayawardhana
|
||
Kalagamet
|
||
Sri Gitarja
|
||
Sri Rajasanagara
|
||
Brawijaya I
|
||
Brawijaya II
|
||
Purwawisesa atau Girishawardhana
|
Brawijaya III
|
|
Bhre Pandansalas, atau Suraprabhawa
|
Brawijaya IV
|
|
Bhre Kertabumi
|
||
Brawijaya VI
|
||
Hudhara
|
[sunting]
ASAL & SEJARAH HAJAR ASWAD
Submitted by Widodo Noercahyo on Tue, 02/17/2009 - 10:51.
Batu ini mempunyai lingkaran sekitar 30 sentimeter dan garis tengah 10 sentimeter, lebih besar daripada lingkaran muka seseorang. Kerana itu, seseorang yang ingin mencium batu ini harus memasukkan mukanya ke dalam lubang itu. Kepala yang besar pun dapat dimasukkan ke dalam lubang batu hitam ini. Bahagian luar batu hitam ini diikat dengan pita perak yang berkilat.
Menurut banyak riwayat, antara lain daripada Abdullah bin Umar bin Khattab, Hajar Aswad berasal dari syurga. Riwayat oleh Sa’id bin Jubair r.a daripada Ibnu Abbas daripada Ubay bin Ka’b r.a, menerangkan bahawa Hajar Aswad dibawa turun oleh malaikat dari langit ke dunia. Abdullah bin Abbas juga meriwayatkan bahawa Hajar Aswad ialah batu yang berasal dari syurga, tidak ada sesuatu selain batu itu yang diturunkan dari syurga ke dunia ini.
Riwayat-riwayat di atas disebutkan oleh Abu al-Walid Muhammad bin Abdullah bin Ahmad al-Azraki (M.224 H/837 M), seorang ahli sejarah dan penulis pertama sejarah Mekah.Tidak ditemukan informasi yang jelas tentang siapa yang meletakkan Hajar Aswad itu pertama kali di tempatnya di Kaabah; apakah malaikat ataukah Nabi Adam a.s.
Pada mulanya Hajar Aswad tidak berwarna hitam, melainkan berwarna putih bagaikan susu dan berkilat memancarkan sinar yang cemerlang.Abdullah bin Amr bin As r.a (7 SH-65 H) menerangkan bahawa perubahan warna Hajar Aswad daripada putih menjadi hitam disebabkan sentuhan orang-orang musyrik. Hal yang sama diungkapkan pula oleh Zubair bin Qais (M. 76 H/65 M).
Dikatakannya bahawa sesungguhnya Hajar Aswad adalah salah satu batu dunia yang berasal dari syurga yang dahulunya berwarna putih berkilauan, lalu berubah menjadi hitam kerana perbuatan keji dan kotor yang dilakukan oleh orang-orang musyrik.
Namun, kelak batu ini akan berwarna putih kembali seperti sedia kala. Menurut riwayat Ibnu Abbas dan Abdullah bin Amr bin As, dahulu Hajar Aswad tidak hanya berwarna putih tetapi juga memancarkan sinar yang berkilauan. Sekiranya Allah s.w.t tidak memadamkan kilauannya, tidak seorang manusia pun yang sanggup mamandangnya.
Pada tahun 606 M, ketika Nabi Muhammad s.a.w berusia 35 tahun, Kaabah mengalami kebakaran besar sehingga perlu dibina kembali oleh Nabi Muhammad s.a.w dan kabilah-kabilah terdapat di Mekah ketika itu. Ketika pembangunan semula itu selesai, dan Hajar Aswad hendak diletakkan kembali ke tempatnya, terjadilah perselisihan di antara kabilah-kabilah itu tentang siapa yang paling berhak untuk meletakkan batu itu di tempatnya.
Melihat keadaan ini, Abu Umayyah bin Mugirah dari suku Makzum, sebagai orang yang tertua, mengajukan usul bahawa yang berhak untuk meletakkan Hajar Aswad di tempatnya adalah orang yang pertama sekali memasuki pintu Safa keesokan harinya.
Ternyata orang itu adalah Muhammad yang ketika itu belum menjadi rasul. Dengan demikian, dialah yang paling berhak untuk meletakkan Hajar Aswad itu di tempatnya. Akan tetapi dengan keadilan dan kebijaksanaannya, Muhammad tidak langsung mengangkat Hajar Aswad itu. Baginda melepaskan serbannya dan menghamparkannya di tengah-tengah anggota kabilah yang ada.
Hajar Aswad lalu diletakkannya di tengah-tengah serban itu. Baginda kemudian meminta para ketua kabilah untuk memegang seluruh tepi serban dan secara bersama-sama mengangkat serban sampai ke tempat yang dekat dengan tempat diletakkannya Hajar Aswad. Muhammad sendiri memegang batu itu lalu meletakkannya di tempatnya. Tindakan Muhammad ini mendapat penilaian dan penghormatan yang besar dari kalangan ketua kabilah yang berselisih faham ketika itu.
Awalnya, Hajar Aswad tidak dihiasi dengan lingkaran pita perak di sekelilingnya. Lingkaran itu dibuat pada masa-masa berikutnya. Menurut Abu al-Walid Ahmad bin Muhammad al-Azraki (M. 203 H), seorang ahli sejarah kelahiran Mekah, Abdullah bin Zubair adalah orang pertama yang memasang lingkaran pita perak di sekeliling Hajar Aswad, setelah terjadi kebakaran pada Kaabah.
Pemasangan pita perak itu dilakukan agar Hajar Aswad tetap utuh dan tidak mudah pecah. Pemasangan pita perak berikutnya dilakukan pada 189 H, ketika Sultan Harun ar-Rasyid, Khalifah Uthmaniah (memerintah tahun 786-809 M), melakukan umrah di Masjidil Haram. Ia memerintahkan Ibnu at-Tahnan, seorang pengukir perak terkenal ketika itu, untuk menyempurnakan lingkaran pita perak di sekeliling Hajar Aswad dan membuatnya lebih berkilat dan berkilau.
Usaha berikutnya dilakukan oleh Sultan Abdul Majid, Khalifah Uthmaniah (1225-1277 H/1839-1861 M). Pada tahun 1268 H, baginda menghadiahkan sebuah lingkaran emas untuk dililitkan pada Hajar Aswad, sebagai pengganti lingkaran pita perak yang telah hilang. Lingkaran emas itu kemudian diganti semula dengan lingkaran perak oleh Sultan Abdul Aziz, Khalifah Uthmaniah (1861-1876 M).
Pada 1331 H, atas perintah Sultan Muhammad Rasyad (Muhammad V, memerintah pada tahun 1909-1918), lingkaran pita perak itu diganti dengan lingkaran pita perak yang baru. Untuk menjaga dan mengekalkan keutuhannya, Hajar Aswad sering dililit dan dilingkari dengan lingkaran pita perak.
Rahasia Hajar Aswad
By admin | Sep
17, 2009
Hajar
Aswad adalah “batu hitam” yang terletak di sudut
sebelah Tenggara Ka’bah, yaitu sudut darimana Tawaf dimulai. Hajar Aswad
merupakan jenis batu ‘RUBY’ yang diturunkan Allah dari surga
melalui malaikat Jibril.Hajar Aswad terdiri dari delapan keping yang terkumpul dan diikat dengan lingkaran perak. Batu hitam itu sudah licin karena terus menerus di kecup, dicium dan diusap-usap oleh jutaan bahkan milyaran manusia sejak Nabi Adam, yaitu jamaah yang datang ke Baitullah, baik untuk haji maupun untuk tujuan Umrah. Harap dicatat bahwa panggilan Haji telah berlangsung sejak lama yaitu sejak Nabi Adam AS. Bahkan masyarakat Jahilliah yang musyrik dan menyembah berhala pun masih secara setia melayani jemaah haji yang datang tiap tahun dari berbagai belahan dunia.
Nenek moyang Rasulullah, termasuk kakeknya Abdul Muthalib adalah para ahli waris dan pengurus Ka’bah. Atau secara spesifik adalah penanggung jawab air zamzam yang selalu menjadi primadona dan incaran para jemaah haji dan para penziarah. Hadist Sahih riwayat Tarmizi dan Abdullah bin Amir bin Ash mengatakan bahwa Rasul SAW bersabda :
Satu riwayat Sahih lainnya menyatakan:
“ Rukun (HajarAswad) dan makam (Batu/Makam Ibrahim) berasal dari batu-batu ruby surga yang kalau tidak karena sentuhan dosa-dosa manusia akan dapat menyinari antara timur dan barat. Setiap orang sakit yang memegangnya akan sembuh dari sakitnya”
Hadist Sahih riwayat Imam Bathaqie dan Ibnu ‘Abas RA, bahwa Rasul SAW bersabda:
“Allah akan membangkitkan Al-Hajar (Hajar Aswad) pada hari kiamat. Ia dapat melihat dan dapat berkata. Ia akan menjadi saksi terhadap orang yang pernah memegangnya dengan ikhlas dan benar”.
Hadis Siti Aisyah RA mengatakan bahwa Rasul SAW bersabda:
“Nikmatilah (peganglah) Hajar Aswad ini sebelum diangkat (dari bumi). Ia berasal dari surga dan setiap sesuatu yang keluar dari surga akan kembali ke surga sebelum kiamat”.
Berdasarkan bunyi Hadist itulah antara lain maka setiap jamaah haji baik yang mengerti maupun tidak mengerti akan senantiasa menjadikan Hajar Aswad sebagai ‘target’ berburu …. saya harus menciumnya. Mencium Hajar Aswad!!!.
Tapi apa bisa? Dua juta jemaah, datang dimusim haji secara bersamaan dan antri untuk keperluan dan target yang sama. Begitu padatnya, maka anda harus rela dan ikhlas untuk hanya bisa memberii ‘kecupan’ jarak jauh sembari melafaskan basmalah dan takbir: Bismillah Wallahu Akbar.
Hadis tersebut mengatakan bahwa disunatkan membaca do’a ketika hendak istilam (mengusap) atau melambainya pada permulaan thawaf atau pada setiap putaran, sebagai mana, diriwayatkan oleh Ibnu Umar RA. Artinya:
“Bahwa Nabi Muhammad SAW datang ke Ka’bah lalu diusapnya Hajar Aswad sambil membaca Bismillah Wallahu Akbar”.
Lanjutannya dikisahkan bahwa batu hitam tersebut pernah terkubur pasir selama beberapa waktu.
RIWAYATNYA
Dalam riwayat lanjutannya bahwa batu hitam tersebut pernah terkubur pasir selama beberapa lama dan secara ajaib ditemukan kembali oleh Nabi Ismail AS ketika ia berusaha mendapatkan batu tambahan untuk menutupi dinding Ka’bah yang masih sedikit kurang. Batu yang ditemukan inilah rupanya yang sedang dicari oleh Nabi Ibrahim AS, yang serta merta sangat gembira dan tak henti-hantinya menciumi batu tersebut. Bahkan, ketika sudah tiba dekat ka’bah, batu itu tak segera diletakan di tempatnya. Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS menggotong batu itu sambil memutari Ka’bah tujuh putaran.
DIANGKUT DENGAN SORBAN MUHAMMAD
Diantara peristiwa penting yang berkenaan dengan batu ini adalah yang terjadi pada tahun 16 sebelum Hijrah (606 M) yaitu ketika suku Quraisy melakukan pemugaran Ka’bah. Pada saat itu hampir saja terjadi pertumpahan darah yang hebat karena sudah lima hari lima malam mereka dalam situasi gawat, karena keempat kabilah dalam suku Quraisy itu terus bersitegang ngotot pada pendapat dan kehendak masing-masing siapa yang mengangkat dan meletakkan kembali batu ini ketempat semula karena pemugaran Ka’bah sudah selesai.
Akhirnya muncul usul dari Abu Umayyah bin Mughirah Al-Mukhzumi yang mengatakan
”Alangkah baiknya kalau keputusan ini kita serahkan kepada orang yang pertama kali masuk masjid pada hari ini.”
Pendapat sesepuh Quraisy Abu Umayyah ini disepakati. Dan ternyata orang pertama masuk pada hari itu adalah Muhammad bin Abdullah yang waktu itu masih berusia 35 tahun. Menjadi rahasia umum pada masa itu bahwa akhlak dan budi pekerti Muhammad telah terkenal jujur dan bersih sehingga dijuluki Al-Amin (orang yang terpercaya).
Muhammad muda yang organ tubuhnya yaitu HATI-nya pernah dibersihkan lewat operasi oleh Malaikat, memang sudah dikenal luas tidak pernah bohong dan tidak pernah ingkar janji. Lalu apa jawaban dan tindakan Muhammad terhadap usul itu?
Muhammad menuju tempat pernyimpanan Hajar Aswad itu lalu membentangkan sorbannya dan meletakkan batu mulia itu ditengah-tengah sorban kemudian meminta satu orang wakil dari masing-masing kabilah yang sedang bertengkar untuk memegang sudut sorban itu dan bersama-sama menggotongnya kesudut dimana batu itu hendak diletakkan. Supaya adil, Muhammad pulalah yang memasang batu itu ketempat semula.
RAHASIA HAJAR AL-ASWAD
Kita semua tahu bahwa Hajar Aswad hanyalah batu yang tidak memberikan mudorat atau manfaat, begitu juga dengan Ka’bah, ia hanyalah bangunan yang terbuat dari batu. Akan tetapi apa yang kita lakukan dalam prosesi ibadah haji tersebut adalah sekedar mengikuti ajaran dan sunnah Nabi SAW. Jadi apa yang kita lakukan bukanlah menyembah Batu, dan tidak juga menyembah Ka’bah.
Umar bin Khatab berkata “Aku tahu bahwa kau hanyalah batu, kalaulah bukan karena aku melihat kekasihku Nabi SAW menciummu dan menyentuhmu, maka aku tidak akan menyentuhmu atau menciummu”
Allah memerintahkan kita untuk Thawaf mengelilingi Ka’bah dan Dia pula yang telah memerintahkan untuk mencium Hajar Aswad. Rasulullah juga melakukan itu semua, dan tentu saja apa yang dilakukan oleh beliau pastilah berasal dari Allah, sebagaimana yang terdapat dalam firmanNya : “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (QS. An-Najm : 53 ) “.
Hajar Aswad berasal dari surga. Batu ini pula yang menjadi fondasi pertama bangunan Ka’bah, dan ia menghitam akibat banyaknya dosa manusia yang melekat disana pada saat mereka melakukan pertaubatan. Tidakkah orang yang beriman merasa malu, jika hati mereka menghitam akibat dosa yang telah dilakukan. Rasulullah bersabda “Ketika Hajar Aswad turun, keadaannya masih putih, lebih putih dari susu, lalu ia menjadi hitam akibat dosa-dosa anak Adam (HR Tirmidzi).
RESPON ISLAM TERHADAP MULTI-KULTURALISME
Oleh : M.
Ja’far Nashir
A. PENDAHULUAN
Perkembangan kebudayaan
sekarang ini ............
Persoalan nilai pluralisme
dan multikulturalisme merupakan tantangan utama yang dihadapi oleh agama-agama
di dunia sekarang ini, mengingat setiap agama sesungguhnya muncul dari lingkungan
keagamaan dan kebudayaan yang plural. Pada saat yang sama, para pemeluk
agama-agama telah membentuk wawasan keagamaan mereka yang eksklusif dan
bertentangan dengan semangat pluralisme dan multikulturalisme. Berbagai gerakan
sering muncul dan sering menjadi sebab timbulnya wawasan dan perkembangan
keagamaan baru. Dalam sejarah agama disebutkan bahwa pembaharu Budha muncul di
tengah-tengah pandangan plural dari kaum Brahmais, Jaina, matrealistis, dan
agnostis. Muhammad juga muncul di tengah-tengah masyarakat Mekah yang beragama
terdiri dari komunitas Yahudi, Kristiani, Zoroaster, dan lainnya. Ibrahim dan
Musa muncul dari lingkungan masyarakat yang menyembah berbagai macam dewa
lokal.
Menyikapi bahwa Islam muncul
di tengah-tengah multikulturalisme agama dan kebudayaan tersebut di atas, maka
berbagai celah telah dilakukan sejak zaman Nabi Muhammad saw sampai dengan
sekarang ini. Munculnya piagam Madina misalnya, merupakan alat yang
menjembatani betapa pluralnya masyarakat pada saat itu. Ini adalah salah satu
bentuk sikap Islam terhadap munculnya multikulturalisme di tengah-tengah
peradaban masyarakat.
B. DEFINISI KUTUR (BUDAYA), PLURALISME, DAN MULTI-KULTURALISME
Berbicara tentang
multikulturalisme tentunya tidak akan terlepas dari kultural dan pluralisme.
Mungkin dalam kehidupan sehari-hari kita banyak menjumpai kata kultur (budaya),
pluralisme, dan bahkan multikultural. Dalam makalah ini sebelum kita membahas
tentang apa yang dimaksud dengan multikulturalisme, sekilas terlebih dahulu
akan dijabarkan tentang apa yang dimaksud dengan kultur dan pluralisme.
a) Pengertian Kultur
Kebudayaan adalah
keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia untuk memenuhi
kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan
masyarakat. Untuk lebih jelasnya, dapat dirinci sebagai berikut :
1. Bahwa kebudayaan adalah segala sesuatu yang dilakukan dan
dihasilkan manusia. Karena itu meliputi :
a. Kebudayaan material (bersifat jasmaniah)
b. Kebuayaan non material
2. Bahwa kebudayaan itu tidak diwariskan secara generatif
(biologis), melainkan hanya mungkin diperoleh dengan cara belajar.
3. Bahwa kebudayaan itu diperoleh manusia sebagai anggota
masyarakat. Yanpa masyarakat akan sukarlah bagi manusia untuk membentuk kebudayaan.
Sebaliknya tanpa kebudayaan tidak mungkin manusia baik secara individual maupun
masyarakat, dapat mempertahankan kehidupannya.
4. Jadi kebudayaan itu adalah kebudayaan manusia. Dan hampir
semua tindakan manusia adalah kebudayaan, karena yang tidak perlu dibiaskan
dengan cara belajar, misalnya tindakan atas dasar naluri (instink), gerak
refleks. Sehubungan dengan itu kita perlu mengetahui perbedaan tingkah laku
manusia dengan makhluk lainnya, khususnya hewan.
Sedangkan menurut E.B.
Taylor (Bapak Antropologi Budaya) mendefinikan Budaya sebagai : ”Keseluruhan
Kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat
istiadat, dan kemampuan-kemampuan atau kebiasaan-kebiasaan lain yang diperoleh
anggota-anggota suatu masyarakat”
Kebudayaan pada hakekatnya
tidak terlepas dari komunikasi, dalam konssep ini maka kebudayaan (budaya)
adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara for,al budaya
didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai,
sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam
semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orangdari
generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok.
Budaya menampakkan diri
dalam pola-pola bahasa dan dalam bentuk-bentuk kegiatan dan perilaku yang
berfungsi sebagai model-model bagi tindakan-tindakan penyesuaian diri dan gaya
komunikasi yang memungkinkan orang-orang tinggal dalam suatu masyarakat di suatu
lingkungan geografis tertentu pada suatu tingkat perkembangan teknis tertentu
dan pada suatu saat tertentu.
Budaya juga berkenaan dengan
sifat-sifat dari objek-objek materi yang memainkan peranan penting dalam
kehidupan sehari-hari. Objek-objek seperti rumah, alat dan mesin yang digunakan
dalam industri dan pertanian, jenis-jenis transportasi, dan alat-alat perang,
menyediakan suatu landasan utama bagi kehidupan sosial.
Budaya berkesinambungan dan
hadir dimana-mana; budaya meliputi semua peneguhan perilaku yang diterima
selama suatu periode kehidupan. Budaya juga berkenaan dengan bentuk dan
struktur fisik serta lingkungan sosial yang mempengaruhi hidup kita. Sebagian
besar pengaruh budaya terhadap kehidupan kita tidak kita sadari. Mungkin suatu
cara untuk memahami pengaruh budaya adalah dengan membandingkannya dengan
komputer elektronik; kita memrogram komputer agar melakukan sesuatu, budaya
kita pun memrogram kita agar melakukan sesuatu dan menjadikan kita apa adanya.
Budaya kita secara pasti mempengaruhi kita sejak dalam kandungan hingga mati –
dan bahkan setelah mati pun kita dikuburkan dengan cara-cara yang sesuai dengan
budaya kita.
Oleh karena budaya memberi
identitas kepada sekelompok orang bagaimana kita dapat mengidentifikasi aspek-aspek
budaya yang menjadikan sekelompok orang sangat berbeda? Salah satu caranya
adalah dengan menelaah kelompok dan aspek-aspeknya, antara lain : Komunikasi dan Bahasa, Pakaian dan Penampilan, Makanan dan
Kebiasaan Makan, Waktu dan Kesadaran Akan Waktu, Penghargaan dan Pengakuan,
Hubungan-hubungan, Nilai dan Norma, Rasa Diri dan Ruang, Proses Mental dan
Belajar, dan Kepercayaan dan Sikap.
b) Pengertian Pluralisme
Pengertian tentang
pluralisme dapat dilihat dari definisi berbagai tokoh sebagaimana berikut ini.
Josh McDowell menjelaskan mengenai definisi pluralisme ada dua macam; Pertama,
pluralisme tradisional (Social Pluralism) yang kini disebut "negative
tolerance". Pluralisme ini didefinisikan sebagai "respecting
others beliefs and practices without sharing them" (menghormati
keimanan dan praktik ibadah pihak lain tanpa ikut serta (sharing) bersama
mereka). Kedua, pluralisme baru (Religious Pluralism)
disebut dengan "positive tolerance" yang menyatakan bahwa
"every single individual's beliefs, values, lifestyle, and truth claims
are equal" (setiap keimanan, nilai, gaya hidup dan klaim kebenaran
dari setiap individu, adalah sama (equal).
Menurut
The Oxford English Directory, pluralisme berarti “sebuah watak untuk
menjadi plural”, dan dalam ilmu politik didefinisikan sebagai :
1) Sebuah
teori yang menentang kekuasaan monolitik negara dan bahkan menganjurkan untuk
meningkatkan pelimpahan dan otonomi organisasi-organisasi utama yang mewakili
keterlibatan seseorang dalam masyarakat. Juga, percaya bahwa kekuasaan harus
dibagi di antara partai-partai politik yang ada.
2) Keberadaan
toleransi keragaman kelompok-kelompok etnis dan budaya dalam suatu masyarakat
atau negara, keragaman kepercayaan atau sikap yang ada pada sebuah badan atau
institusi dan sebagainya.
Sedangkan
dalam Islam yang dimaksud pluralisme adalah paham kemajemukan yang
melihatnya sebagai suatu kenyataan yang bersifat positif dan sebagai keharusan
bagi keselamatan umat manusia.
c) Pengertian Multi-Kulturalisme
Dalam masyarakat yang
majemuk (yang terdiri dari suku, ras, agama, bahasa, dan budaya yang berbeda),
kita sering menggunakan berbagai istilah yaitu : pluralitas (plurality),
keragaman (diversity), dan multikultural (multicultural). Ketiga ekspresi itu
sesungguhnya tidak merepresentasikan hal yang sama, walaupun semuanya mengacu
kepada adanya ’ketidaktunggalan’.
Dibandingkan konsep
Pluralitas dan Keragaman, Multikulturalisme sebenarnya relatif baru. Menurut
Bhikhu Parekh, baru sekitar 1970-an gerakan
multikultural muncul pertama kali di Kanada dan Australia, kemudian di Amerika
Serikat, Inggris, Jerman, dan lainnya. Secara konseptual terdapat perbedaan
signifikan antara pluralitas, keragaman, dan multikultural. Inti dari
multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai
kesatuan, tanpa mempedulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun
agama.
Apabila pluralitas sekadar
merepresentasikan adanya kemajemukan (yang lebih dari satu), multikulturalisme
memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama di
dalam ruang publik. Multikulturalisme menjadi semacam respons kebijakan baru
terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitas-komunitas yang berbeda
saja tidak cukup; sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itu
diperlakukan sama oleh negara.
Akar kata dari
multikulturalisme adalah kebudayaan. Pengertian kebudayaan diantara para ahli
harus dipersamakan atau setidak-tidaknya tidak dipertentangkan antara satu
konsep yang dipunyai oleh seorang ahli dengan konsep yang dipunyai oleh ahli
atau ahli-ahli lainnya. Karena multikulturalsime itu adalah sebuah ideologi dan
sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya,
maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan
manusia. Saya melihat kebudayaan dalam perspektif tersebut dan karena itu
melihat kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Yang juga harus kita
perhatikan bersama untuk kesamaan pendapat dan pemahaman adalah bagaimana
kebudayaan itu operasional melalui pranata-pranata sosial.
Sebagai sebuah ide atau
ideologi multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi yang ada dalam
berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia yang tercakup dalam kehidupan
sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, dan kehidupan politik, dan berbagai
kegiatan lainnya di dalam masyarakat yang bersangkutan Kajian-kajian mengenai
corak kegiatan, yaitu hubungan antar-manusia dalam berbagai manajemen
pengelolaan sumber-sumber daya akan merupakan sumbangan yang penting dalam
upaya mengembangkan dan memantapkan multikulturalisme dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi Indonesia.
Menurut Rogers dan Steinfatt
Multikulturalisme merupakan pengakuan bahwa beberapa kultur yang berbeda dapat
eksis dalam lingkungan yang sama dan menguntungkan satu sama lain. Atau
pengakuan dan promosi terhadap pluralisme kultural.
Sedang Suryadinata menyebutkan bahwa multikulturalisme menghargai dan berusaha
melindungi keragaman kultural.
d) Perbedaan Kulturalisme dengan Multi-Kulturalisme
Dari gambaran tersebut di
atas, setidaknya dapat dilihat bagaimana sebenarnya perbedaan kultutalisme
dengan multikulturalisme. Dr. Turnomo Rahardjo misalnya membedakan keduanya
sebagai berikut :
(1) Kulturalisme
1. Bertujuan mengembangkan interdependensi pada aspek-aspek
pragmatis dan instrumental dalam kontak antarbudaya;
2. Memberikan penekanan pada pemeliharaan identitas kultural;
3. Mengkombinasikan pendekatan etic (memperoleh data)
dan pendekatan emic (mendapatkan data) dalam pertukaran antarbudaya.
(2) Multikulturalisme
1. Bertujuan mempertahankan dan mentransmisikan budaya yang
tidak dapat diubah oleh kekuatan-kekuatan relasional maupun eksternal;
2. Berusaha memelihara identitas kultural dengan segala
konsekuensinya;
3. Merupakan proses emic (mendapatkan data) karena
mensyaratkan pemeliharaan terhadap keberadaan setiap budaya.
C. RESPON ISLAM TERHADAP MULTI-KULTURALISME
Sampai batas
tertentu, respons agama terhadap kecenderungan multikulturalisme memang masih
ambigu. Hal itu disebabkan, agama kerap dipahami sebagai wilayah sakral,
metafisik, abadi, samawi, dan mutlak. Bahkan, pada saat agama terlibat dengan
urusan ’duniawi’ sekalipun, hal ini tetap demi penunaian kewajiban untuk
kepentingan ’samawi.’ Berbagai agama, tentu saja, berbeda-beda dalam perkara
cara dan berbagai aspek, namun agama-agama tersebut hampir seluruhnya memiliki sifat-sifat
demikian itu.
Karena sakral
dan mutlak, maka sulit bagi agama-agama tersebut untuk mentoleransi atau hidup
berdampingan dengan tradisi kultural yang dianggap bersifat duniawi dan
relativistik. Oleh karena itu, persentuhan agama dan budaya lebih banyak
memunculkan persoalan daripada manfaat. Apalagi, misalnya dalam konteks Islam,
kemudian dikembangkan konsep bid’ah yang sama sekali tidak memberikan ruang
akomodasi bagi penyerapan budaya non-agama.
Dapatkah Islam
mengembangkan multikulturalisme, sementara pada saat yang sama kurang
mengembangkan apresiasi terhadap budaya, termasuk yang berperspektif lokal?
Rasanya sulit menjawabnya secara afirmatif, jika gagasan multikulturalisme itu
masih dianggap asing dalam mind-set Islam.
Sebenarnya,
cita-cita agung multikulturalisme tidak bertentangan dengan agama; namun
demikian basis teoretisnya tetap problematik. Nilai-nilai multikulturalisme
dianggap ekstra-religius yang ditolak oleh para teolog Muslim, sehingga sulit
untuk mengeksplorasi tema tersebut. Memang belakangan telah muncul prakarsa
yang dilakukan sejumlah pemikir Arab, seperti Mohammed Abed al-Jabiri, Hassan
Hanafi, Nasr Hamid Abu-Zaid, dan lain-lain, untuk merekonsiliasi antara tradisi
dan agama. Namun, gagasan-gagasan mereka mendapat tanggapan keras dari
ulama-ulama konservatif.
Dalam upaya
membangun hubungan sinergi antara multikulturalisme dan agama, menurut Mun’im A Sirry minimal diperlukan
dua hal yaitu :
Pertama, penafsiran ulang atas doktrin-doktrin keagamaan ortodoks
yang sementara ini dijadikan dalih untuk bersikap eksklusif dan opresif.
Penafsiran ulang itu harus dilakukan sedemikian rupa sehingga agama bukan saja
bersikap reseptif terhadap kearifan tradisi lokal, melainkan juga memandu di
garda depan untuk mengantarkan demokrasi built-in dalam masyarakat-masyarakat
beragama.
Kedua, mendialogkan agama dengan gagasan-gagasan modern. Saat
ini, umat beragama memasuki suatu fase sejarah baru di mana mereka harus mampu
beradaptasi dengan peradaban-peradaban besar yang tidak didasarkan pada agama,
seperti kultur Barat modern. Kita tak mungkin menghindar dari ide-ide dan
teori-teori sekuler. Itu berarti, menyentuh istilah-istilah dengan gagasan
non-religius itu merupakan tugas paling menantang yang dihadapi kaum Muslim
pada zaman modern ini.
Dr Abdolkarim
Soroush, intelektual Muslim asal Iran, menegaskan bahwa
umat beragama dihadapkan pada dua persoalan: local problems (problem-problem
lokal) dan universal problems (problem-problem universal) yakni problem
kemanusiaan secara keseluruhan. Menurut dia, saat ini, problem-problem seperti
perdamaian, hak-hak asasi manusia, hak-hak perempuan, telah menjadi problem
global, dan harus diselesaikan pada level itu.
1. Pandangan Islam Tentang Sosio-kultural (budaya)
Agama, termasuk Islam
mengandung simbol-simbol sistem sosio-kultural yang memberikan suatu konsepsi
tentang realitas dan rancangan untuk mewujudkannya. Tetapi, simbol-simbol yang
menyangkut realitas tidak selalu harus sama dengan realitas yang terwujud
secara riil dalam kehidupan masyarakat. Dalam pengertian ini, agama dipahami
sebagai suatu “sistem budaya” (cultural system).
Pertanyaan yang muncul
kemudian adalah, jika Islam (Alqur’an) – yang diyakini kaum Muslimin sebagai
kebenaran final yang tidak dapat diubah dan berlaku untuk segala waktu dan
tempat – merupakan konsepsi tentang relitas, apakah Islam merupakan pendukung
atau sebaliknya hambatan terhadap perkembangan budaya? Dalam bentuk yang lebih
populer, apakah Islam menjadi penghalang bagi perubahan sosial yang menuju ke
arah kesejahteraan kemanusiaan?
Menjawab pertanyaan tersebut
tentunya kita akan melihat kembali kebelakang, bahwa sepanjang sejarah sejak
masa-masa awal telah tercipta semacam ketegangan antara doktrin teologis Islam
dengan relitas dan perkembangan sosial. Tetapi dalam aplikasi praktis, Islam
“terpaksa” mengakomodasi kenyataan sosial budaya. Tatkala doktrin pokok
Al-Qur’an tentang fiqh, misalnya dirumuskan secara terinci, ketika itu pulalah
para ahli fiqh – terpaksa mempertimbangkan faktor sosial budaya. Karena itulah
antara lain tercipta perbedaan-perbedaan – betapapun kecilnya, misalnya
diantara imam-imam madzhab. Imam Syafi’i, misalnya mengembangkan apa yang
disebut “qawl al-qadim” ketika di Irak dan “qawl al-jadid” ketika
ia pindah ke Mesir.
Jadi sejak awal perkembangan
Islam sebagai konsepsi realitas telah menerima akomodasi sosio-kultural.
Akomodasi ini semakin terlihat ketika wilayah Islam berkembang sedemikian rupa
sehingga ia menjadi agama yang mendunia. Pada kasus-kasus tertentu, akomodasi
itu tercipta sedemikian rupa, sehingga memunculkan “varian Islam”.
2. Sikap Masyarakat Madani (Islam) Terhadap Multi-Kulturalisme
Sebagaimana kota Jakarta,
kota-kota besar dunia Islam pada masa kejayaannya, terutama Baghdad dan
Kordoba, merupakan masyarakat yang majemuk (plural), dimana penduduk dari
pelbagai latar belakang etnik, suku, bangsa dan agama berkumpul dan hidup
bersama. Tentu saja, keadaan ini menimbulkan tantangan-tantangan tersendiri
yang perlu dijawab oleh masyarakat perkotaan dengan mengembangkan sifat-sifat
yang cocok dengan keadaan. Sifat-sifat yang cocok dengan keadaan masyarakat
kota inilah yang dimaksud dengan masyarakat madani-multikultural dan tentu saja
melibatkan sikap-sikap tertentu yang menjadi tuntutan masyarakat multikultural.
Sikap-sikap tersebut menurut Mulyadhi Kartanegara di golongkan menjadi empat,
antara lain meliputi inklusivisme, humanisme/egalitarianisme, toleransi, dan
demokrasi.
a) Inklusivisme
Sikap inklusif sebenarnya
telah dipraktekkan oleh para adib ketika menyusun “adab” mereka. Dalam
menentukannya selain menggunakan al-Qur’an dan hadits sebagai sumber paling
otoritatif, mereka juga masih menggunakan sumber-sumber dari kebudayaan lain. Selain para adib (udaba’) , para ilmuwan dan filosof
Muslim juga telah mengembangkan sikap inklusif yang serupa dalam karya mereka.
Mereka menunjukkan sikap lapang dada dan percaya diri yang luar biasa terhadap
pemikiran-pemikiran yang datang dari luar, dan tak nampak sedikitpun rasa
minder dalam diri mereka. Sikap inklusif ini dapat dilihat dari tokoh-tokoh
filosof Muslim dalam berfilsafat dan juga dalam mencari guru.
b) Humanisme/egalitariaanisme
Yang dimaksud humanisme
disini adalah cara pandang yang memperlakukan manusia karena kemanusiaannya,
tidak karena sebab yang lain di luar itu, seperti ras, kasta, warna kulit,
kedudukan, kekayaan dan bahkan agama. Dengan demikian termasuk di dalam humanisme
ini adalah sifat egaliter, yang menilai semua manusia sama derajatnya. Sejarah
kebudayaan Islam sarat dengan contoh-contoh sifat humanis ini. Nabi kita
sendiri disinyalir pernah menyatakan dengan tegas, bahwa “tidak ada kelebihan
seorang Arab daripada ‘ajam (non-Arab)”.
Contoh lain yang berkenaan
dengan humanisme adalah : pembelaan oleh Jalal al-Din Rumi kepada muridnya yang
beragama Kristen, dan juga dapat kita lihat dari kitab al-Akhlaq
wa al-Siyar, karangan Ibn Hazm (w.1066), yang intinya pandangan Ibn Hazm
terlihat jelas ketika, misalnya, ia mengritik seseorang yang terlalu bangga
dengan keturunannya.
c) Toleransi
Toleransi umat Islam
barangkali dapat dilihat dari beberapa contoh di bawah ini : Pada Masa awal
Islam, Para penguasa Muslim dalam waktu yang relatif singkat telah menaklukkan
beberapa wilayah sekitarnya seperti; Mesir, Siria, dan Persia. Ketika para
penguasa Muslim menaklukkan daerah tersebut, di sana telah ada dan berkembang
dengan pesat beberapa pusat ilmu pengetahuan. Dan setelah daerah tersebut
dikuasai Islam, kegiatan keilmuan masih berjalan dengan baik tanpa ada campur
tangan dari penguasa Muslim.
Disamping itu komunitas
non-Muslim seperti Kristen, Yahudi, dan bahkan Zoroaster dapat hidup dan
menjalankan ibadah mereka masing-masing dengan relatif bebas di bawah kekuasaan
para penguasa Muslim. Sikap lain yang ditunjukkan adalah diperkenankannya kaum
non-Muslim untuk hadir dan mengikuti kajian-kajian ilmiah yang diselenggarakan
orang-orang Muslim, baik sarjananya maupun penguasanya.
d) Demokrasi
Menurut Abdolkarim Soroush
dalam bukunya Reason, Freedom and Democracy in Islam, salah satu sifat
yang tidak boleh ditinggalkan dalam demokrasi adalah kebebasan individu untuk
mengemukakan pendapatnya, dengan kata lain harus ada kebebasan berfikir. Kebabasan inilah yang telah dilaksanakan oleh masyarakat
di kota-kota besar Islam, terutama pada masa kejayaan Islam.
Pada kesempatan yang lain,
Samsu Rizal Panggabean memberikan gambaran mengenai
pandangan Islam tentang Multikulturalisme, yang mana dia menjelaskan bahwa
kenekaragaman itu sendiri ada dalam tubuh Islam (masyarakat Islam), disamping
kenekaragaman yang terjadi di luar Islam. Dalam tulisannya yang berjudul Islam
dan Multikulturalisme, Rizal membahas multikulturalisme dalam dua arah
pembicaraan, yaitu : multikulturalisme dari komunitas Muslim (Multikulturalisme
Internal) dan komunitas agama-agama lain (Multikulturalisme Eksternal).
a) Multikulturalisme Internal
Multikultuiralisme Internal
adalah keanekaragaman internal dikalangan umat Islam, ini menunjukkan bahwa
kebudayaan Islam itu majemuk secara internal. Dalam hal ini, kebudayaan Islam
serupa dengan kebudayaan-kebudayaan lainnya kecuali kebudayaan yang paling
primitif. Kemajemukan internal ini mencakup antara lain : Bidang pengelompokan
sosial; Bidang fiqh; Bidang teologi, Bidang tasawuf dan dimasa modern seperti
politik kepartaian.
Dilihat dari sudut
multikulturalisme internal ini, pluralisme identitas kultural keagamaan dalam
masyarakat Muslim bukan hanya merupakan fakta yang sulit dipungkiri. Lebih dari
itu, multikulturalisme juga menjadi semangat, sikap, dan pendekatan. Dalam hal
ini, setiap identitas kultural terus berinteraksi dengan dengan identitas kultural
yang lain di dalam tubuh umat. Melalui interaksi itu, setiap identitas
mendefinisikan identitasnya dalam kaitannya dengan identitas yang lain dan
karenanya, secara sadar atau tidak, suatu identitas dipengaruhi identitas yang
lain. Multikulturalisme internal ini, dengan demikian, mengisyaratkan kesediaan
berdialog dan menerima kritik.
b) Multikulturalisme Eksternal
Multikultural eksternal
ditandai dengan pluralitas komunal-keagamaan, merupakan fakta yang tidak dapat
dihindari dalam kehidupan masyarakat Muslim. Dimasa lalu, imperium-imperium
Islam, walaupun ada penisbatan dan pelabelan Islam pada namanya, selalu
bercirikan multikultural dalam pengertian keanekaragaman komunitas keagamaan.
Imperium besar seperti Usmani di Turki meupun imperium yang lebih kecil seperti
Ternate dan Tedore di wilayah Timur Nusantara selalu mencakup lebih dari dua
komunitas kultural-keagamaan.
Dilihat dari sudut
multikulturalisme eksternal ini, pluralisme keagamaan bukan hanya merupakan
fakta yang tidak dapat dihindari. Lebih dari itu, multikulturalisme juga
menjadi semangat, sikap, dan pendekatan terhadap keanekaragaman budaya dan
agama. Sebagai bagian dari kondisi yang majemuk, umat Islam terus berinteraksi
dengan umat dari agama-agama lain. Melalui proses interaksi ini, umat Islam
memperkaya dan diperkaya tradisi keagamaan lain, dan umat agama lain memperkaya
dan diperkaya tradisi keagamaan Islam. Sejarah menunjukkan bahwa ufuk
intelektual dan moral peradaban Islam menjadi luas dan agung dengan atau
setelah membuka diri terhadap masukan dan pengaruh dari kebudayaan dan
peradaban lain – bukan dengan mengurung diri di dalam ghetto kultural yang
sumpek dan absolutis.
Posting Komentar