Kabupaten KOTA PARE-PARE
Nama Resmi | : | Kota Parepare |
Ibukota | : | Parepare |
Provinsi | : | Sulawesi Selatan |
Batas Wilayah | : | Utara: Kabupaten PinrangSelatan: Kabupaten BarruBarat: Selat MakssarTimur: Kabupaten Sidrap |
Luas Wilayah | : |
99,33 Km2
|
Jumlah Penduduk | : |
157.337 Jiwa
|
Wilayah Administrasi | : | Kecamatan: 4, kelurahan: 22 |
(Permendagri No.66 Tahun 2011)
Sejarah
Diawal perkembangannya dataran tinggi yang sekarang ini, yang disebut Kota Parepare, dahulunya adalah merupakan semak-semak belukar yang diselang-selingi oleh lubang-lubang tanah yang agak miring tempat tumbuhnya semak-semak tersebut secara liar dan tidak teratur, mulai dari utara (Cappa Ujung) hingga ke jurusan selatan kota. Kemudian dengan melalui proses perkembangan sejarah sedemikian rupa dataran itu dinamakan Kota Parepare.
Lontara Kerajaan Suppa menyebutkan, sekitar abad XIV seorang anak Raja Suppa meninggalkan Istana dan pergi ke selatan mendirikan wilayah tersendiri pada tepian pantai karena hobbynya memancing. Wilayah itu kemudian dikenal sebagai kerajaan Soreang, kemudian satu lagi kerajaan berdiri sekitar abad XV yakni Kerajaan Bacukiki.
Dalam satu kunjungan persahabatan Raja Gowa XI, Manrigau Dg. Bonto Karaeng Tonapaalangga (1547-1566) berjalan-jalan dari kerajaan Bacukiki ke Kerajaan Soreang. Sebagai seorang raja yang dikenal sebagai ahli strategi dan pelopor pembangunan, Kerajaan Gowa tertarik dengan pemandangan yang indah pada hamparan ini dan spontan menyebut “Bajiki Ni Pare” artinya “Baik dibuat pelabuhan Kawasan ini”. Sejak itulah melekat nama “Parepare” Kota Pelabuhan. Parepare akhirnya ramai dikunjungi termasuk orang-orang melayu yang datang berdagang ke kawasan Suppa.
Melihat posisi yang strategis sebagai pelabuhan yang terlindungi oleh tanjung di depannya, serta memang sudah ramai dikunjungi orang-orang, maka Belanda pertama kali merebut tempat ini kemudian menjadikannya kota penting di wilayah bagian tengah Sulawesi Selatan. Di sinilah Belanda bermarkas untuk melebarkan sayapnya dan merambah seluruh dataran timur dan utara Sulawesi Selatan. Hal ini yang berpusat di Parepare untuk wilayah Ajatappareng.
Pada zaman Hindia Belanda, di Kota Parepare, berkedudukan seorang Asisten Residen dan seorang Controlur atau Gezag Hebber sebagai Pimpinan Pemerintah (Hindia Belanda), dengan status wilayah pemerintah yang dinamakan “Afdeling Parepare” yang meliputi, Onder Afdeling Barru, Onder Afdeling Sidenreng Rappang, Onder Afdeling Enrekang, Onder Afdeling Pinrang dan Onder Afdeling Parepare.
Pada setiap wilayah/Onder Afdeling berkedudukan Controlur atau Gezag Hebber. Disamping adanya aparat pemerintah Hindia Belanda tersebut, struktur Pemerintahan Hindia Belanda ini dibantu pula oleh aparat pemerintah raja-raja bugis, yaitu Arung Barru di Barru, Addatuang Sidenreng di Sidenreng Rappang, Arung Enrekang di Enrekang, Addatung Sawitto di Pinrang, sedangkan di Parepare berkedudukan Arung Mallusetasi.
Struktur pemerintahan ini, berjalan hingga pecahnya Perang Dunia II yaitu pada saat terhapusnya Pemerintahan Hindia Belanda sekitar tahun 1942.
Pada zaman kemerdekaan Indonesia tahun 1945, struktur pemerintahan disesuaikan dengan undang-undang no. 1 tahun 1945 (Komite Nasional Indonesia). Dan selanjutnya Undang-undang Nomor 2 Tahun 1948, dimana struktur pemerintahannya juga mengalami perubahan, yaitu di Daerah hanya ada Kepala Daerah atau Kepala Pemerintahan Negeri (KPN) dan tidak ada lagi semacam Asisten Residen atau Ken Karikan.
Pada waktu status Parepare tetap menjadi Afdeling yang wilayahnya tetap meliputi 5 Daerah seperti yang disebutkan sebelumnya. Dan dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 29 tahun 1959 tentang pembentukan dan pembagian Daerah-daerah tingkat II dalam wilayah Propinsi Sulawesi Selatan, maka ke empat Onder Afdeling tersebut menjadi Kabupaten Tingkat II, yaitu masing-masing Kabupaten Tingkat II Barru, Sidenreng Rappang, Enrekang dan Pinrang, sedang Parepare sendiri berstatus Kota Praja Tingkat II Parepare. Kemudian pada tahun 1963 istilah Kota Praja diganti menjadi Kotamadya dan setelah keluarnya UU No. 2 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka status Kotamadya berganti menjadi “KOTA” sampai sekarang ini.
Didasarkan pada tanggalpelantikan dan pengambilan sumpah Walikotamadya Pertama H. Andi Mannaungi pada tanggal 17 Februari 1960, maka dengan Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah No. 3 Tahun 1970 ditetapkan hari kelahiran Kotamadya Parepare tanggal 17 Februari 1960.
Arti Logo
Bendera Merah Putih
- Bendera kebangsaan Negara Republik Indonesia, Perlambang Persatuan dan Kesatuan dari Rakyat Indonesia;
- Warna merah adalah Melambangkan Keberanian;
- Warna Putih adalah Melambangkan Kesucian.
Bintang Persegi Lima warna kuning emas mengandung makna :
- Pancasila sebagai falsafah hidup rakyat dan negara RI;
- Cita-cita luhur dari rakyat Parepare untuk mencapai taraf hidup yang layak dan yang lebih baik dari masa lampau.
Perahu (Bentuk Lambo) dengan layar terkembang, yang seluruhnya berwarna putih diatas tiga gelombang laut yang berwarna biru mengandung makna :
- Kekayaan yang dimiliki Bangsa Indonesia di lautan;
- Bahtera sebagai sarana yang digunakan untuk mencapai cita-cita menuju masyarakat yang adil dan makmur.
Pohon Kelapa, Buah, Padi, Bunga Kapas ketiga-tiganya adalah termasuk bahan pokok keperluan sandang, pangan, yang melambangkan kemakmuran dengan makna sebagai berikut :
- Pohon kelapa warna hitam melambangkan keuletan/kekokohan;
- Warna kuning pada buah padi melambangkan keluhuran dan kebesaran;
- Warna putih bersih pada bunga kapas melambangkan kesucian.
Garis Sejajar yang berwarna hitam dan putih pada sekeliling pinggir perisai melambangkan ketahanan yang kokoh dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan nan manual dan kesinambungan.
Nilai Budaya
Kehidupan Etnis Tionghoa
Jarak antara warga keturunan Cina dengan warga pribumi di Kota Parepare, jaraknya tidak bisa lagi diukur. Kehidupan mereka di tengah masyarakat tidak punya lagi jarak pemisah. Mereka hidup membaur di semua lini kehidupan sosial sehingga sulit dibedakan, mana warga keturunan Cina dan mana warga pribumi.
Jangan heran jika anda menemukan, ada warga keturunan Cina sangat fasih berbahasa daerah. Sebab hampir semua warga Tionghoa ini mengerti dan paham serta lancar melafalkannya. “Malah, mereka lebih pintar berbahasa Bugis dibanding orang Bugis itu sendiri yang sudah tidak tahu lagi bahasa daerahnya”, kata Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Parepare, Loekito Soedirman kepada Bulletin Bandar Madani.
Kondisi ini bisa dimaklumi karena sosialisasinya dengan kehidupan masyarakat lokal sudah terbilang ratusan tahun. Keturunan Cina yang ada sekarang di Kota Bandar Madani ini, tidak bisa lagi dihitung keturunan ke berapa dari nenek moyangnya. Sebab, etnis Cina ini masuk di Kota Parepare sekitar 200 tahun silam.
Saat ini berdasarkan data PSMTI yang didirikan 10 tahun lalu itu, sekitar 500 KK atau sekitar 2.000 orang Cina. Secara alamiah, mereka sudah membaur dengan warga pribumi bahkan sudah ada yang kawin-mawin. Seluk beluk bahasa dan budaya lokal mereka sudah ketahui dengan baik, sehingga sangat sulit membedakannya dengan warga setempat. Agama mereka pun, sama dengan yang dianut warga pibumi yaitu Islam, Kristen, Budha dan lain-lain. Mereka pada umumnya hidup dalam usaha kegiatan perdagangan dan bisnis lainnya, malah ada yang papah.
Menurut Loekito, PSMTI Parepare hanyalah cabang dari PSMTI yang berpusat di Jakarta. Meski sebanyak empat vihara di Kota Parepare tetapi semuanya bernaung di dalam PSMTI. Wadah ini berperan mendekatkan diri dengan pemerintah dan warga setempat serta mengurusi kepentingan warga Tionghoa itu sendiri, termasuk merintis pekuburan khusus Tionghoa di BilalangE.
PSMTI ini juga mengembangkan dan melestarikan kesenian dan budaya etnis Tionghoa supaya tidak punah di mata generasi mudanya. Wadah ini turut berperan aktif pada saat diminta oleh pemerintah daerah untuk ikut lomba Barongsai di tingkat propinsi maupun tingkat lokal. Pada hari-hari tertentu, sepeti Imlek mengadakan pertunjukan kesenian etnis Cina. Kemudian pada hari Raya Idul Fitri turut pula bersuka cita dengan bersilahturahmi ke panti jompo dan panti asuhan.
Meski tidak ada yang mencoba ke pemerintahan, tetapi terbukanya kran reformasi maka etnis Cina pun bisa duduk di legislatif. Loekito sangat bangga dan bersyukur karena ada warga keturunan Cina yang ikut bekompetisi pada Calon Legislatif (caleg) tahun 2009 nanti. ”Tidak ada masalah jika mereka ingin berkiprah duduk di dewan, asalkan orangnya cakap dan pantas mewakili rakyat. Meski dia orang Cina jika tidak layak, maka warga keturunan Cina belum tentu mendukungnya”, ungkap Loekito. (St.Rahmawati).
Jangan heran jika anda menemukan, ada warga keturunan Cina sangat fasih berbahasa daerah. Sebab hampir semua warga Tionghoa ini mengerti dan paham serta lancar melafalkannya. “Malah, mereka lebih pintar berbahasa Bugis dibanding orang Bugis itu sendiri yang sudah tidak tahu lagi bahasa daerahnya”, kata Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Parepare, Loekito Soedirman kepada Bulletin Bandar Madani.
Kondisi ini bisa dimaklumi karena sosialisasinya dengan kehidupan masyarakat lokal sudah terbilang ratusan tahun. Keturunan Cina yang ada sekarang di Kota Bandar Madani ini, tidak bisa lagi dihitung keturunan ke berapa dari nenek moyangnya. Sebab, etnis Cina ini masuk di Kota Parepare sekitar 200 tahun silam.
Saat ini berdasarkan data PSMTI yang didirikan 10 tahun lalu itu, sekitar 500 KK atau sekitar 2.000 orang Cina. Secara alamiah, mereka sudah membaur dengan warga pribumi bahkan sudah ada yang kawin-mawin. Seluk beluk bahasa dan budaya lokal mereka sudah ketahui dengan baik, sehingga sangat sulit membedakannya dengan warga setempat. Agama mereka pun, sama dengan yang dianut warga pibumi yaitu Islam, Kristen, Budha dan lain-lain. Mereka pada umumnya hidup dalam usaha kegiatan perdagangan dan bisnis lainnya, malah ada yang papah.
Menurut Loekito, PSMTI Parepare hanyalah cabang dari PSMTI yang berpusat di Jakarta. Meski sebanyak empat vihara di Kota Parepare tetapi semuanya bernaung di dalam PSMTI. Wadah ini berperan mendekatkan diri dengan pemerintah dan warga setempat serta mengurusi kepentingan warga Tionghoa itu sendiri, termasuk merintis pekuburan khusus Tionghoa di BilalangE.
PSMTI ini juga mengembangkan dan melestarikan kesenian dan budaya etnis Tionghoa supaya tidak punah di mata generasi mudanya. Wadah ini turut berperan aktif pada saat diminta oleh pemerintah daerah untuk ikut lomba Barongsai di tingkat propinsi maupun tingkat lokal. Pada hari-hari tertentu, sepeti Imlek mengadakan pertunjukan kesenian etnis Cina. Kemudian pada hari Raya Idul Fitri turut pula bersuka cita dengan bersilahturahmi ke panti jompo dan panti asuhan.
Meski tidak ada yang mencoba ke pemerintahan, tetapi terbukanya kran reformasi maka etnis Cina pun bisa duduk di legislatif. Loekito sangat bangga dan bersyukur karena ada warga keturunan Cina yang ikut bekompetisi pada Calon Legislatif (caleg) tahun 2009 nanti. ”Tidak ada masalah jika mereka ingin berkiprah duduk di dewan, asalkan orangnya cakap dan pantas mewakili rakyat. Meski dia orang Cina jika tidak layak, maka warga keturunan Cina belum tentu mendukungnya”, ungkap Loekito. (St.Rahmawati).
Sumber foto : http://mencariindonesia.com/index.php/imlek-singkawang-ribuan-lampion-dan-aset-wisata/
BATU MERINGKIK DI WATANG BACUKIKI
Bila berkunjung di Kelurahan Watang Bacukiki, maka kita akan menemui sebuah batu besar yang menyerupai kuda meringkik. Batu ini dianggap keramat bagi penduduk warga sekitar, bahkan menjadikannya sebagai simbol dan penamaan wilayah. Bacukiki berasal dari kosa kata Bugis “ Batukiki” yang berarti batu meringkik.
Para pengunjung yang hendak memasuki perkampungan Watang Bacukiki seolah sudah merasakan hawa mistis kampung tersebut. Saat memasuki perkampungan ini, dapat dijumpai sebuah batu besar berukuran tinggi, kurang lebih delapan meter dan lebarnya mencapai 10 meter. Batu tersebut berada tepat di jalan masuk kampung dan membedah jalan.
Dari keterangan penduduk setempat, batu tersebut berasal dari atas bukit Bacukiki. Konon ceritanya, batu ini berpindah sendiri dari tempat asalnya. Hingga sekarang ini, batu besar tersebut diyakini sebagai batu keramat. Karena tak jarang baik penduduk setempat dan penduduk luar daerah Parepare memberikan sesajen. Namun tidak diketahui pasti hari pemberian sesajen itu.
“ Pemberian sesajen itu itu tidak menentu, biasanya mereka datang kalau mendapat mimpi buruk atau baik. Pemberian sesajen ini dipercayai akan membawa keberuntungan seperti mendapatkan keberhasilan usaha dan mendapatkan keselamatan” ujar Ambo Mapitang, salah seorang penduduk setempat.
Menurut cerita penduduk sekitar Watang Baukiki, batu ini seringkali terdengar meringkik seperti ringkikan suara kuda. Dimana ringkikan suara kuda itu konon menandakan datangnya musibah. Salah satu musibah yang diyakini yakni adanya kematian di kalangan istana, wabah penyakit menyerang kampung, dan adanya musibah lain seperti kebakaran.
Sementara itu, salah seorang warga, Muh Bangga (54), mengaku sering melakukan ritual di batu tersebut dan ia melakukannya karena mimpi. Dalam mimpinya meminta melakukan ritual keberhasilan panen petani setempat. Selain itu,pihaknya sering membawakan sesajen di batu keramat itu untuk meminta keselamatan dan rezeki.
Bukan hanya warga setempat yang biasa melakukan ritual sesajen di batu keramat itu. Akan tetapi, banyak dari warga dari luar yang datang melakukan ritual dengan berbagai macam permintaan yang mereka minta. Kini masyarakat setempat berharap batu tersebut tidak mengeluarkan suara seperti ringkikan kuda. Jika itu terjadi, penduduk desa ini khawatir akan terjadi musibah lagi.
Saat ini Kelurahan Watang Bacukiki menjadi tempat objek wisata karena daerah ini telah ditetapkan sebagai desa wisata oleh Pemkot Parepare.Beberapa sisa peniggalan kerajaan disimpan di Museum Labangengnge.
Para pengunjung yang hendak memasuki perkampungan Watang Bacukiki seolah sudah merasakan hawa mistis kampung tersebut. Saat memasuki perkampungan ini, dapat dijumpai sebuah batu besar berukuran tinggi, kurang lebih delapan meter dan lebarnya mencapai 10 meter. Batu tersebut berada tepat di jalan masuk kampung dan membedah jalan.
Dari keterangan penduduk setempat, batu tersebut berasal dari atas bukit Bacukiki. Konon ceritanya, batu ini berpindah sendiri dari tempat asalnya. Hingga sekarang ini, batu besar tersebut diyakini sebagai batu keramat. Karena tak jarang baik penduduk setempat dan penduduk luar daerah Parepare memberikan sesajen. Namun tidak diketahui pasti hari pemberian sesajen itu.
“ Pemberian sesajen itu itu tidak menentu, biasanya mereka datang kalau mendapat mimpi buruk atau baik. Pemberian sesajen ini dipercayai akan membawa keberuntungan seperti mendapatkan keberhasilan usaha dan mendapatkan keselamatan” ujar Ambo Mapitang, salah seorang penduduk setempat.
Menurut cerita penduduk sekitar Watang Baukiki, batu ini seringkali terdengar meringkik seperti ringkikan suara kuda. Dimana ringkikan suara kuda itu konon menandakan datangnya musibah. Salah satu musibah yang diyakini yakni adanya kematian di kalangan istana, wabah penyakit menyerang kampung, dan adanya musibah lain seperti kebakaran.
Sementara itu, salah seorang warga, Muh Bangga (54), mengaku sering melakukan ritual di batu tersebut dan ia melakukannya karena mimpi. Dalam mimpinya meminta melakukan ritual keberhasilan panen petani setempat. Selain itu,pihaknya sering membawakan sesajen di batu keramat itu untuk meminta keselamatan dan rezeki.
Bukan hanya warga setempat yang biasa melakukan ritual sesajen di batu keramat itu. Akan tetapi, banyak dari warga dari luar yang datang melakukan ritual dengan berbagai macam permintaan yang mereka minta. Kini masyarakat setempat berharap batu tersebut tidak mengeluarkan suara seperti ringkikan kuda. Jika itu terjadi, penduduk desa ini khawatir akan terjadi musibah lagi.
Saat ini Kelurahan Watang Bacukiki menjadi tempat objek wisata karena daerah ini telah ditetapkan sebagai desa wisata oleh Pemkot Parepare.Beberapa sisa peniggalan kerajaan disimpan di Museum Labangengnge.
( Sumber : Harian Seputar Indonesia edisi 17 -18 Oktober 2008).
Posting Komentar